EMPAT BELAS

622 153 23
                                    

PROYEK HADES

Setelah menyaksikan hamparan hutan, perkebunan, dan juga bukit yang tiada akhir, Karel akhirnya menepikan mobil ke tepi jalan, di suatu tempat antah-berantah. Tak ada bangunan apa pun di sini selain pepohonan dan semak belukar yang tinggi.

Karel meraih ponselnya dari atas dasbor begitu mobil ini berhenti dengan mesin yang masih dibiarkan menyala. Kemudian ia berpaling ke belakang, meraih ransel untuk mengeluarkan sebotol alkohol bersama korek api gas. "Tunggu di sini," ucapnya sambil lalu.

Apa wajahku terlihat seperti ingin melarikan diri?

Cowok itu mengutak-atik ponsel tersebut setibanya ia di luar. Jaket denim yang kemarin ia pakai sudah ditanggalkan hingga lagi-lagi aku terpana akan tato yang memenuhi kedua lengannya. Berikutnya, tanpa aku duga, Karel melempar ponsel itu ke atas bebatuan kerikil, menginjak layarnya hingga pecah, lantas menuangkan alkohol dan yang terakhir menyalakan korek. Sejurus kemudian api menjilati permukaannya dengan cepat.

"Kenapa dibakar?" aku meringis membayangkan harga benda malang yang tadinya masih mulus itu.

Karel menutup pintu di sisinya dengan debum pelan. "Buat ngilangin jejak."

Asap hitam yang mengepul rendah tampak berputar-putar ketika mobil kembali melaju.

"Jejak apa? emangnya kita lagi diikutin?" kenapa aku terdengar dungu sekali.

Cowok itu menggeleng. "Gak ada sistem yang aman."

Ternyata yang ia maksud adalah jejak digital. Sepertinya aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan si pembunuh itu.

"Ehm, jadi, si King bisa aja nemuin kita kalau benda itu gak dibakar?"

"Bisa jadi." Jawabnya instan tanpa berkedip. Sunyi sesaat.

"Lo ... pernah ketemu sama King?"

Karel menoleh ke arahku dengan gerakan perlahan. Sangat pelan hingga jantungku seketika berdebar panik. Kenapa atmosfernya jadi gelap dan mengerikan begini? ia menatapku tajam.

"Gak."

Aku meneguk ludah. "Lo, ehm, tahu muka King kayak gimana?"

Ia mendesah pelan. "Gak ada yang tahu rupanya dia kayak apa."

"Kira-ki-"

"Kenapa lo jadi pengen tahu soal dia?" tanyanya dengan nada meninggi. Bersamaan dengan itu, kecepatan mobil yang dikemudinya turut bertambah.

"P-pengen tahu aja." Ya Tuhan, tolong, jangan kaucabut nyawaku sekarang.

Percakapan kami berhenti di sana. Yang tersisa hanya keheningan dan sayup suara mesin menderu. Nyaliku untuk kembali bertanya mendadak saja menciut. Sepertinya Karel tak suka diajak berbicara perihal King. Terlepas yang diucapkannya jujur atau tidak, aku tak bisa mengambil kesimpulan dia adalah King atau bukan. Belum.

Aku mengalihkan pandang ke luar jendela, mengikuti guratan awan setipis kapas yang seolah melekat secara permanen di langit. Hari ini cuaca sangat cerah dan aku merasa itu tidak adil. Kenapa bisa begitu? Aku juga tak tahu. Aku tak dapat menemukan alasan yang tepat untuk yang satu itu.

Ketika aku nyaris saja tertidur-mungkin sudah berkilo-kilo meter jauhnya dari tepian jalan di mana Karel membakar ponselnya-kurasakan kecepatan mobil berkurang. Mengangkat kepala, kulihat kami berhenti di sebuah pelataran parkir milik deretan ruko dua lantai yang cukup luas, tepat di bagian paling tepi, di depan sebuah toko bercat pink pastel dengan plang bertuliskan: Cocoons Laundry.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang