TIGA BELAS

641 153 32
                                    

PROPAGANDA

"Kamu lagi gak enak badan?" suara nenek Ina membuyarkan lamunanku.

Kupaksakan sebuah senyum sebelum mengangkat sendok dan bergegas menyuapi sayuran oseng buatannya yang masih hangat–yang sesungguhnya memiliki cita rasa super nikmat–sebelum ia kembali menegur. Wanita itu balas tersenyum, lantas mengalihkan pandangan kembali pada piring di hadapannya dengan tenang.

Apa yang Daryl ungkapkan padaku pagi tadi telah membuat segalanya terasa hambar. Seolah saraf otakku mengalami sedikit masalah dalam merepresentasikan rasa. Dua sendok makan gula disempalkan ke dalam mulutku pun tampaknya tak akan menyisakan efek manis di lidah. Pikiranku terlalu dikalutkan oleh hipotesis Daryl yang cukup mengguncang jiwa: King adalah Karel.

Bagaimana mungkin itu terjadi? Pikir saja, selama ini Karel selalu berada bersamaku, mengurus ini dan itu, sedangkan King si pembunuh dikatakan sedang mengejar kami meski wujudnya tak kunjung kelihatan. Aku masih ingat, beberapa hari lalu Jil pernah memberi kabar soal King yang katanya telah masuk ke wilayah kotanya. Itu berarti King sosok yang nyata, bukan? Pembunuh itu memang ada. Atau mungkinkah cowok berambut nyentrik itu cuma berakting?

Jadi siapa sebenarnya yang sedang berpura-pura di sini?

"Kalau ada yang menyusahkan pikiranmu, jangan dipendam." Nenek Ina lagi-lagi menyeletuk, kali ini dengan nada lembut seakan ia berbicara pada cucunya sendiri. "Selain buat stres, lama-lama itu juga bisa mengganggu fisik kamu."

Ucapan nenek Ina memang benar. Tapi masalahnya, persoalan yang kuhadapi saat ini tidak bisa diselesaikan begitu saja dalam sekali duduk. Aku mendesah, letih. "Saya cuma khawatir sama Karel, Nek."

Setidaknya jawaban itu masih berhubung erat dengan masalah yang sedang membebani pikiranku.

"Karel memang selalu begitu." Wanita tua itu meletak sendoknya di tepi piring, menyudahi makan malam kami yang sunyi. "Kamu jangan menyusahkan diri dengan mikirin dia, percuma, anak itu seperti memiliki dunianya sendiri yang gak mau atau barangkali gak akan pernah dia perlihatkan ke orang lain."

Sepertinya nenek Ina mengetahui sesuatu. Dahiku mengerut saat menanyakan hal ini, "maksudnya dunia yang kayak apa ya, Nek?"

"Sebentar." Nenek Ina mendadak beranjak dari kursinya, lantas berjalan keluar area dapur–yang sederhana namun nyaman ini–dengan menyisakan sejumlah tanya yang mengelilingi kepalaku seperti kelekatu di sekitar pijar lampu.

Tak sampai dua menit, nenek Ina kembali. Di tangannya terselip sebuah album foto berukuran sedang dan secarik kertas putih polos yang mulai menguning. Wanita itu menyingkirkan piring bekas makan kami berikut lauk-pauknya dari atas meja supaya ia bisa membentang kedua benda itu di hadapanku. Ketika nenek Ina meletakkan kertas yang kukira polos itu di atas sampul album yang berwarna biru, aku langsung mengenali gambar di baliknya. Kertas itu ternyata foto yang kemarin kulihat tersisip di depan cermin pada lemari model lama di mana Karel pernah mengambil kotak obat.

"Lihat, ini Karel." Wanita itu mengarahkan telunjuknya pada salah satu wajah di antara belasan anak di dalam foto. "Di sini umurnya masih tujuh tahun. Dia paling susah kalau dipinta senyum." Kenang nenek Ina dengan sorot mata yang menghangat.

Pantas saja aku merasa tak asing dengan wajah blasteran anak itu, dia satu-satunya yang tidak tersenyum di saat yang lain berlomba saling unjuk gigi. Kedua sudut bibir cowok itu tertarik ke bawah seperti rambutnya yang tumbuh lebat, jelas karena tak suka diajak berfoto beramai-ramai. Tipe introvert yang merasa tak nyaman bila berada di antara kegaduhan. Wajahnya jadi masam sekali. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membayangkan ekspresi Karel yang sekarang melihat foto masa lalunya. Pasti tidak akan ada bedanya. Ha.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang