DUA PULUH DUA

610 152 12
                                    

RUSSIAN ROULLETE

Sengatan rasa nyeri menyerbu dahiku saat aku membuka mata. Namun sakit itu tidak ada apa-apanya saat aku melihat sosok yang sedang duduk di hadapanku dengan segelas anggur merah di tangan. Ketakutan sekaligus dendam membara di benakku di waktu yang bersamaan.

"Maaf jika sapaan saya tadi terlalu berlebihan." Bari menyesap minumannya dengan raut yang menyebalkan.

Ternyata dia yang tadi menghadiahi bogem mentah di wajahku. Sialan. Pukulannya yang tidak main-main masih menyisakan nyeri yang berdentum di dalam kepalaku, dan nyaris memburamkan segalanya. Aku bahkan bisa mencium aroma karat yang memualkan. Bau darah. Apakah itu darahku sendiri?

"Kamu gak perlu cemas," ujarnya seraya meletakkan si gelas berkaki anggun ke atas meja di antara kami, "sebentar lagi anak peretas itu akan datang ke sini, dia harus meluruskan sesuatu yang telah lama terjadi di antara kami."

Wajah Bari terlihat suram di bawah sorot lampu yang digantung terlalu rendah hingga cahaya yang dihasilkan hanya berpusat pada kami. Bagian tepi ruangan ini, meski dikelilingi oleh kegelapan yang rasanya bergerak-gerak gelisah, terasa begitu jauh dan mengancam. Aku tak bisa menemukan di mana jalan keluar. Tapi aku masih bisa melihat tiga buah monitor yang dipenuhi tayangan CCTV di belakang tubuh lelaki itu, dan setiap jendelanya menampilkan ruang yang berbeda. Sepertinya aku sedang disekap di sebuah gedung yang bertingkat-tingkat.

Mataku berusaha memindai setiap petak gambar di monitor itu dengan cepat, dan kusadari bahwa di beberapa titik bangunan ini terdapat pria yang berjaga dengan senjata api siaga di tangan. Bisakah aku menyelamatkan diri dari mereka?

Aku berusaha berdiri untuk kabur namun sesuatu menahan tubuhku. Merundukkan pandangan, kusadari mereka sedang mengikatku pada sebuah kursi. Seutas tali panjang melilit tubuh dan tanganku pada sandaran di belakang sana hingga aku tak dapat bergerak sedikit pun, sedangkan kedua kakiku diikat secara terpisah pada kaki kursi yang mengirimkan sensasi dingin menusuk.

"Berhenti bergerak-gerak, kamu cuma nyakitin diri kamu." Bari berkata tanpa melihat ke arahku. Aku tak menggubris ucapannya dan terus meronta dengan harapan ikatan tali ini dapat melonggar. Lelaki itu meraih kembali gelas anggurnya, tampak sedikit jengkel.

"Martin, tolong ajarkan apa itu kepatuhan pada sandera kita." Ucap Bari pada seseorang yang tak dapat kulihat.

Aku menoleh ke sana-kemari dengan was-was ketika seorang lelaki bertubuh tegap–yang muncul entah dari mana–melangkah ke dalam hujan cahaya untuk menghampiriku. Rautnya beringas sekali. Di tambah bekas luka bakar yang memenuhi pipi kanannya, lelaki itu semakin terlihat seperti monster dalam wujud manusia. Aku menatapnya dengan ngeri saat tangannya yang kekar meraba kepala ikat pinggang yang melingkari celananya, kemudian benda itu terlepas hanya dalam satu sentakan. Oh tidak.

"Jangan sentuh gue!" erangku dengan suara bergetar karena panik, "gue akan nurut, tapi please, jangan sentuh gue!"

"Di sini, kami tidak bernegosiasi." Suara kasar Martin terdengar mengancam. Aku menelan ludah. Takut. Matanya yang dipenuhi aura gelap seolah lapar akan sesuatu.

Lelaki yang mengenakan kaus hitam itu berhenti melangkah, namun tangannya yang menggenggam tali ikat pinggang terangkat ke atas, tinggi, sedikit ke belakang, dan sebelum aku sempat menyadari apa yang akan terjadi, lelaki itu telah melecutkan ikat pinggangnya pada tubuhku sembari menggeram rendah. Kuat. Berkali-kali. Menyisakan sensasi pedih menyengat yang rasanya sanggup mengoyak kulitku dalam sekejap.

Dengan pandangan yang dikaburkan oleh air mata, aku menjerit kesakitan. Namun semakin aku berteriak memohonnya untuk berhenti, semakin keras pula cambukkan yang mendarat di sekitar dada dan bahuku. Aku tak bisa melihat Bari ataupun lelaki kejam itu dengan jelas, tapi aku dapat mendengar mereka tertawa. Seolah mereka sangat menikmati penyiksaan ini.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang