SATU

1.8K 236 32
                                    

ASING SATU SAMA LAIN




Kopi hitam

Kopi vanila

Kopi hitam

Atau yang vanila...

Tak ingin menambah pusing akibat kurangnya jam tidur, kuraih dua kotak kopi kemasan itu dari lemari pendingin, menutup pintunya dengan pelan, lalu berjalan ke konter kasir layaknya zombie yang belum makan tiga hari.

Kutarik selembar uang dari dompet bututku yang telah usang—warna birunya yang pudar telah dinodai bercak hitam jemariku—lantas meletakkannya tepat di samping monitor sang kasir sebelum ia menyebutkan nominal yang harus kubayar. Cewek itu tertawa. Saat kucari apa penyebabnya, ternyata kertas yang kukira uang itu adalah struk belanjaan bulan lalu.

Tak perlu kujelaskan betapa malunya diriku.

Bergadang hingga pukul lima pagi dan dilanjutkan dengan tidur dua jam benar-benar tidak bagus bagi kesehatan mata.

Baiklah, sebelum kalian menghakimi hidupku yang menyedihkan ini, biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Tara. Yep, hanya satu kata itu. Tidak ada sambungan ataupun nama belakang keluarga. Kedua almarhum orang tuaku sepertinya terlalu malas untuk mencari nama-nama bayi sewaktu aku masih di dalam kandungan. Aku sempat menduga nama itu diambil dari kata Taraaa! ketika mama memamerkan dua garis biru pada alat tes kehamilannya ke papa.

Oh, ironis sekali.

Aku tinggal bersama oma sejak kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal sembilan belas tahun yang lalu. Aku tidak memiliki saudara maupun sepupu. Jadi oma adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sekarang usiaku telah memasuki seperempat abad. Yang mana oma bersabda adalah usia yang matang untuk mulai berkeluarga.

Cih. Mengurus diri sendiri saja belum becus. Aku terlalu pemalas untuk memulai sesuatu yang baru. Saat ini aku hanya ingin fokus menjalankan bisnis kafe milik oma, dan hidup dalam kebosanan sampai akhir hayatku tiba.

Sesederhana itu.

Sembari menandaskan dua kotak minuman kopi kemasan, aku berjalan menuju kafe oma yang tak jauh dari minimarket yang baru saja kusinggahi. Yang juga tak jauh dari tempat tinggal kami. Papan nama OMA breakfast and coffee menjulang di depan sana, menantang jiwa-jiwa kelaparan yang belum sempat sarapan di rumah. Atau manusia yang terlalu malas memasak seperti diriku.

Dan perlu digaris bawahi, meski aku adalah satu-satunya cucu oma, bukan berarti beliau memperlakukanku layaknya berlian langka yang berharga nan istimewa. Aku dihitung sebagai karyawan di sini, bahasa elite-nya manajer. Jadi, ada sejumlah peraturan yang harus aku patuhi termasuk tidak datang terlambat. Oma sangat menjunjung tinggi kedisiplinan.

Maka dari itu, untuk menghindari amukan oma yang seganas ombak di tengah badai, aku masuk lewat pintu belakang. Diam-diam, tak bersuara, melangkah layaknya maling beha.

"Oi."

Jantungku nyaris berhenti berdetak. Tanpa menoleh ke belakang, aku tahu suara sialan yang baru saja mengagetkanku itu adalah milik Dipta, salah satu chef di kafe ini, dan juga teman dekat yang sering kunistakan. Dipta sudah kepala tiga, namun ia selalu bertingkah layaknya remaja tujuh belas tahun. Ia menolak tua. Begitulah motto hidupnya.

"Lu gak mandi, ya? kusut banget tuh muka," sahutnya sembari kembali melanjutkan kegiatannya. Dipta sedang mencuci beragam buah-buahan dengan jemarinya yang telaten. Aku mencoba meraih sebutir apel dari wadah anyaman itu saat ia lengah, tapi nyatanya Dipta menepis tanganku dengan respon secepat kilat.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang