MOTEL TERSELUBUNG
Seumur hidup, dapat kuhitung berapa kali aku pergi ke luar kota.
Dan tak satu pun di antara perjalanan itu ada yang melampaui batas pulau. Saat itu aku sedang menghabiskan liburan yang memakan waktu paling lama tiga hari. Dan semua perjalanan yang menyenangkan tersebut kulakukan bersama oma, bukannya bersama cowok yang tak begitu kukenali seperti saat ini. Yang tampaknya mulai tak menyukai keberadaanku di sisinya.
Mobil yang sedang ia kemudikan berbelok ke sebuah jalan lengang, tidak begitu lebar, tapi masih muat untuk dilewati dua buah mobil pada waktu bersamaan. Pada ujungnya yang berbelok entah ke mana, terdapat tanah lapang yang disesaki oleh rumput liar–yang tampaknya setinggi tubuh orang dewasa. Pada kedua sisi jalan yang aspalnya telah memudar itu, berdiri rumah-rumah besar dengan papan yang bertuliskan: dijual, terpasang pada setiap pagar besi yang menjulang.
Kami berhenti di depan sebuah pekarangan kecil milik rumah tak berpagar yang tampaknya tidak berpenghuni. Gagang pintunya dilingkari oleh rantai karatan, dan dedaunan kering memenuhi terasnya yang kotor. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar sini.
Begitu mesin mobil telah mati, Karel tahu-tahu membuka semua laci pada dasbor, memeriksa bagian dalamnya dengan cepat, lalu menarik keluar sebuah pistol yang tak kuketahui apa jenisnya. Perutku mendadak melilit. Aku belum pernah melihat pistol sungguhan secara langsung. Cowok itu membuka tempat penyimpanan peluru yang tersembunyi di balik pegangan pistol, isinya penuh. Aku meneguk ludah.
"Keluar," ucapnya singkat sembari menyimpan pistol di balik jaket bomber hitam yang ia kenakan. Cowok itu menarik ujung topinya ke bawah, membuka pintu, lantas melangkah keluar dari mobil. Aku mengikuti tanpa berani bertanya ke mana kami akan pergi.
Saat aku tiba di sampingnya, Karel sedang berlutut di sisi mobil, menusuk keempat ban secara bergantian menggunakan sebuah pisau lipat–yang entah ia dapatkan dari mana–dengan sangat cepat. Sepertinya itu bukan sekedar pisau lipat biasa. Suasana hening yang melingkupi kami seketika diusik oleh suara angin yang mendesis dari ban-ban bocor.
"Ikut gue," titah Karel dengan nada dingin begitu dirinya selesai merusak si mobil malang.
Tentu saja aku akan membuntutinya tanpa harus diperintah seperti barusan. Apa cowok itu pikir aku akan memesan ojek online, pergi ke rumah makan padang untuk sarapan, lalu kembali ke rumah dengan tenang? Oh yang benar saja, Karel.
"Buruan!" cowok itu berseru jengkel ketika kedua kakiku tak kunjung menyusul langkahnya yang laju.
Aku memasang wajah masam, lantas menjawabnya dengan tak kalah ketus. "Iya, sabar."
Sepertinya ini akan menjadi perjalanan panjang yang sanggup meningkatkan tekanan darah dan juga mental. Semoga saja cowok itu tak berniat menarik pelatuk pistol temuannya ke depan hidungku suatu saat nanti.
Beberapa meter jauhnya dari mobil curian yang kini teronggok tak berguna, Karel menuntunku pada sebuah belokan yang ternyata menuju gang sempit–yang terletak di antara dua tembok beton tinggi yang dipenuhi oleh lukisan graffiti. Sebagian terlihat indah dan rumit, sebagian lagi hanya berupa kata umpatan kasar dengan gambar tak senonoh. Dipta pasti menyukai tembok ini. Perasaan bersalah mendadak menyesaki dadaku. Semoga cowok itu dalam keadaan baik-baik saja.
Gang sempit ini memiliki rute seperti huruf L. Ketika kami tiba di ujungnya yang terbuka, aku bisa melihat sebuah bangunan beratap miring yang sudah lama dibiarkan terbengkalai. Kayu-kayu keropos–yang entah apa fungsinya–melintang dengan menyedihkan di sela rerumputan liar setinggi lutut, tak jauh dari tumpukkan ban usang. Tepat di bawah kanopi karatan yang terbentang seluas teras, dua buah mobil tanpa ban dan kaca tampak bermandikan noda tanah yang mengering. Rantai motor yang menjuntai di langit-langit menyebarkan aroma besi tua di udara. Tampaknya bangunan itu pernah menjadi bengkel di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
AcciónTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...