ENAM BELAS

684 171 23
                                        

TAMAN MERAH MUDA

Karel duduk di balik kemudi sepuluh menit setelah tangisanku mereda. Sekarang aku merasa konyol telah menangisi dirinya yang bahkan tak peduli dengan dirinya sendiri. Karel melirikku sekilas melalui spion depan. Dan tanpa mengatakan apa pun, cowok itu menyalakan mesin, membawa mobil ini entah ke mana. Aku terlalu merajuk untuk bertanya.

Kami meninggalkan area pantai. Jalanan tak begitu ramai hingga beberapa kilo berikutnya. Sejumlah truk barang, bus, dan mobil pribadi yang saling menyalip menjadi tontonanku dalam perjalanan bisu ini. Menghibur sekali. Di luar langit mulai membiaskan warna-warna senja. Jingga, nila, ditimpali oleh semburat keemasan.

Kelopak mataku terasa berat saat deretan bangunan menggantikan pohon-pohon yang teduh. Tak jauh dari lampu lalu lintas yang sedang menyala merah di depan sana, aku melihat sebuah pos polisi. Kantukku sirna, lari terbirit-birit dan bersembunyi di balik kepanikan. Secara refleks aku menjauh dari sisi jendela. Bahkan menaikkan tudung jaket ke kepala meski jendela mobil ini tak tembus pandang. Dan Karel masih terlihat setenang dan sesantai instruktur yoga.

Jantungku berdebar begitu kami melintas di hadapan sekitar lima orang polisi yang sedang berjaga. Tak satu pun di antara mereka ada yang melihat ke arah kami. Aku mengembuskan napas lega. Ketakutanku nyatanya berlebihan. Mobil terus bergerak hingga pos polisi itu berada di ujung pandanganku dan menghilang.

Desakan untuk bertanya kini bergolak di benakku, namun aku mati-matian menahan diri. Ketika pertahanan itu nyaris runtuh, Karel tahu-tahu menepikan mobil di depan sebuah taman yang tampaknya sedang menyelenggarakan sebuah pameran, kunilai dari banyaknya stan yang berjejer.

"Mau singgah?" Karel berpaling ke belakang, kedua alis tebalnya terangkat.

Aku menunjuk ke arah taman yang dipenuhi nuansa merah muda itu. "Ke situ?"

"Enggak, ke pos polisi tadi."

Bibirku mengerucut. "Emangnya lo gak takut orang-orang jahat itu ke sini? atau ada yang ngenalin muka gue gitu?"

"Keramaian bisa nyamarin keberadaan kita," ia menaikkan bahu, "para pengunjung di sana pasti cuma fokus ke stan-stan itu dari pada merhatiin pengunjung lain. Lagi pula kita gak akan lama."

"Oke, gue mau." Jawabku antusias sembari tersenyum lebar, sepenuhnya lupa bahwa beberapa saat lalu aku sedang merajuk pada cowok itu.

Karel memutar bola mata, lantas bergumam sangat pelan namun masih terdengar di telingaku. "Gampang banget dibujuk."

Aku terlalu sibuk memerhatikan taman merah muda itu untuk memedulikan ucapannya. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku mengunjungi acara festival atau pameran seperti ini. Waktu itu aku pergi ditemani Debby dan juga Dipta, kami baru pulang hingga acara itu selesai digelar dan oma memarahiku habis-habisan setibanya aku di rumah.

Aku melangkah keluar sembari menarik tali ransel ke bahu. Karel bilang kami harus membawa barang-barang penting ini ketika meninggalkan mobil. Jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi dalam situasi mendesak, maka kami tinggal lari tanpa perlu memikirkan nasib si mobil keren itu.

Karel menarik tudung jaketku ke belakang, lantas memasangkan topi ke puncak kepalaku. "Buat jaga-jaga. Muka lo gak terlalu kelihatan kalo begini"

Ia sendiri mengenakan topi yang di balik. Benda itu menyembunyikan seluruh rambutnya ke belakang, dan sebuah kaca mata bening berbingkai gelap bertengger di hidungnya yang mancung. Ransel hitam-yang kini tampak akrab di mataku-tersampir di punggung, membuat Karel nyaris terlihat senormal cowok yang sedang menikmati waktu luangnya di tengah cuti liburan. Andai saja orang-orang ini tahu jika ia buronan yang sedang membawa satu tas penuh senjata berikut peluru yang siap ditembakkan kapan saja.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang