BADAI PERTAMA
Dia mengikuti kami.
Si pria berwajah kaku dengan kaus mahal bernoda cairan cokelat yang ia sembunyikan di balik jaket kulit berwarna gelap. Barang yang sampai sekarang masih kuanggap identik dengan para penjahat. Langkahnya tenang, tak bersuara, namun pandangan pria yang mungkin berusia di awal empat puluhan itu enggan meninggalkan kami. Seperti seekor pemangsa yang baru saja menemukan buruannya tanpa sengaja masuk ke dalam wilayahnya.
"Jangan dilihat." Karel berkata pelan, tangannya menggenggam erat pergelangan tanganku. Seolah aku bisa menghilang kapan saja jika ia tak melakukannya.
Di atas langit telah gelap. Cahaya kilat sesekali pecah di antara gumpalan awan seperti cahaya kamera di sisi panggung sana. Pertanda mendung telah tiba, dan batinku ikutan bergolak tak tenang. Kami sedang berjalan kembali ke arah depan, menuju keramaian, berusaha keluar dari sini sembari menyisip di antara lautan punggung demi menyamarkan jejak. Aku mati-matian menahan diri untuk tak menoleh ke belakang demi mengecek apa yang sedang dilakukan si pria kaku itu. Semoga ia tak dapat mengikuti kami.
Sebagian besar para pengunjung sepertinya tengah melakukan hal yang serupa. Mereka membubarkan diri sebelum ditimpa hujan lalu berakhir basah-basahan. Ini hanya akan mempermudah pelarian kami tanpa perlu dicurigai oleh siapa pun.
Karel melepas topi dan juga kacamatanya ketika kami hampir mendekati posisi gerbang hati. Kedua benda itu ia buang sembarang di tengah kerumunan pengunjung yang berlalu lalang. Aku bisa mendengar sayup suara retakan begitu benda itu diinjak oleh seseorang. Hasrat untuk berlari seketika meletup-letup di ujung kakiku, namun Karel bilang kami tak boleh melakukannya atau hal itu akan menarik perhatian seseorang yang tak diinginkan. Dalam kasus ini, si penguntit di belakang sana.
Di sampingku, sekumpulan gadis yang tampaknya masih berstatus anak SMA melirik Karel dan berbisik-bisik satu sama lain dengan senyum genit yang bermain di wajah. Mendadak saja aku merasa kembali ke awal pertemuan kami di kelasku waktu itu. Rasanya cukup menyebalkan. Gadis-gadis itu terlihat puas melihat Karel yang tak begitu memedulikanku. Tentu saja. Cowok itu sedang memfokuskan pandangan jauh ke depan sana karena nyawa kami sedang terancam, nona-nona sekalian, andai saja kalian tahu.
Lalu, tanpa peringatan apa pun, mendadak Karel menyeretku ke arah kanan, yang justru membuat kami semakin menjauhi jalan keluar. Aku mendongak untuk menanyakan penyebabnya, tapi cowok itu lebih dulu memotong dengan wajah gusar.
"Mereka di sini," tuturnya cepat, nyaris mendesis. "Laki-laki itu bagian dari anak buah Bernard, gue lihat kawanannya nunggu di depan sana."
"Jadi kita harus ke mana?" tanyaku berusaha menyembunyikan getaran di dalam suaraku. Jika mereka ada di mana-mana, itu berarti kesempatan kami untuk keluar dari taman merah muda ini dengan selamat sangat tipis. Melihat Karel tak kunjung menjawab, aku kembali berkata. "Harusnya kita nggak singgah ke sini, kalo tadi gue nolak aja–"
"Gak ada yang perlu disesalin," Karel memotong tegas, "mereka memang udah ngikutin kita dari awal, cuma gue aja yang lengah."
Kami berjalan menuju bagian belakang panggung melalui jalan setapak yang memutar. Bagian ini sepertinya tidak termasuk dalam area festival hingga tak begitu dilewati oleh banyak orang. Sejumlah mobil yang kuduga adalah milik para kru band berjejer di sini. Beberapa orang terlihat melintas di antara kendaraan tersebut, tapi mereka jelas terlalu sibuk untuk memedulikan kehadiran aku dan juga Karel.
Tepat di ujung jalan, diapit oleh pepohonan rendah yang pangkalnya dipenuhi bebatuan kelabu, tampak sebuah akses keluar menuju jalan yang lengang. Pagar gerbang itu terbuka lebar tanpa halangan, bahkan tanpa penjagaan yang ketat. Tak jauh dari situ, puluhan motor berderet rapi. Karel merogoh ransel di balik punggungnya, untuk kemudian mengeluarkan sebuah pistol, lantas menyelipkan benda itu di dalam saku jaketnya. Ya Tuhan, semoga ia tak perlu menggunakan benda itu lagi. Aku melihat sekeliling untuk memastikan tak ada yang memerhatikan kami. Dan tersadar bahwa si pria kaku sudah lenyap dari pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
ActionTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...