SEKEPING MASA LALU
"Rel."
"Hn."
"Boleh minta tolong?"
Cowok itu mendongak dengan raut malas. "Apa?"
"Gue gak bisa nyemir rambut sendiri," aku mengetuk-ngetuk permukaan kotak cat rambut dengan jemari, sedikit rikuh, "bantuin?"
Karel menghela napas panjang dan ia tampak dua tahun lebih tua dari biasanya. Pasti merasa terbebani diminta melakukan perkerjaan sepele begini. Karel tadinya sedang duduk di sisi balkon, memangku laptop yang layarnya dipenuhi oleh deretan huruf kecil yang tak dapat kulihat dengan jelas, bersama segelas kopi yang kelihatannya sudah dingin. Cowok itu bergegas menutup layar laptop begitu aku mendekat.
"Apa yang buat lo mikir gue bisa ngelakuin itu?" Karel meletakkan laptopnya di atas meja kecil di samping kursi, tepat di sebelah gelas styrofoam tanpa label. Ada sedikit noda kopi pada kaus putih tanpa lengan yang ia kenakan, di bagian paling ujung.
Aku berhenti selangkah dari posisi Karel. Berpikir sejenak. "Um, lo pasti tahu caranya ngecat, kan? nah, nyemir rambut kurang lebih gitu."
"Gue gak pernah ngecat apa pun."
Aku nyaris melupakan fakta jika Karel anak dari seorang pengusaha kaya raya. Di masa lalu, cowok itu pasti tak pernah repot-repot mengeluarkan tenaga untuk melakukan segalanya. Akan selalu ada orang lain yang mampu keluarganya bayar. Kecuali ia pelukis atau seorang perancang bangunan.
"Oh," aku mengusap tengkuk, salah tingkah karena tebakanku meleset, "kalo gitu gue coba sendiri, deh."
Aku memutar badan dan melangkah menuju kamar mandi. Seraya mengambil mangkuk, sisir kuas, dan juga sepasang sarung tangan karet, aku merutuki diri karena telah menganggap Karel sama seperti orang-orang yang aku kenal. Benar-benar tak tahu diri. Dia kan orang asing, Tara. Memangnya sudah berapa lama aku mengenalnya? Dua hari? Dua hari untuk sok tahu dan bertingkah layaknya teman. Hebat sekali.
Aroma menyengat dari lima kotak cat rambut–yang aku tuang ke dalam mangkuk–mengepungku dari seluruh titik sudut kamar mandi. Aku benci bau menusuk seperti ini. Baunya selalu mengingatkanku pada sesuatu yang pesing dan terbakar. Atau seperti aroma solder, kurang lebih begitu. Debby pernah bilang ada yang aneh dengan hidungku, saat ia mewarnai rambutnya sendiri di penghujung semester empat kala kami kuliah dulu. Yang dia tidak sadari, seluruh diriku ini memang aneh.
Warna putih pada krim super kental cat rambut itu telah berubah menjadi cokelat–yang teksturnya sekilas terlihat seperti bubur bayi. Ini berarti aku sudah bisa mengoleskan semir tersebut ke rambut. Kulepas karet yang menyimpul rambutku dengan asal, lantas menatap cermin sembari merapikannya ke depan. Saat itulah, ketika pandanganku bertemu dengan pantulannya sendiri, perasaan ragu mendadak saja berhamburan di benakku.
Ada bayangan lain yang muncul di dalam cermin, tepat di balik punggungku, hanya sekilas kedipan mata. Seraut wajah familier. Untuk sesaat, aku tertegun. Wajah itu ... wajah yang tak akan pernah menua di ingatan siapa pun. Aku bahkan masih hafal senyumnya yang selembut beledu. Senyum yang tiba-tiba membuatku merasa berat hati untuk melakukan apa yang akan aku lakukan barusan: berubah menjadi sosok yang lain.
"Mau ngaca sampai kapan?"
Melalui cermin, aku melihat Karel sedang bersandar di ambang pintu yang sengaja kubiarkan terbuka. Kedua tangannya bersilang di depan dada.
"Sampai cerminnya retak, gitu?"
Aku mendengus jengkel. Kehadirannya sukses membuyarkan semua kegelisahanku dalam satu tarikan napas. "Urus aja kerjaan lo." Aku kembali mengaduk-aduk pewarna rambut yang sebetulnya tak perlu dilakukan. Hanya supaya terlihat sibuk di depan cowok itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
AcciónTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...