DUA PULUH SATU

704 157 36
                                    

KAMP PERETAS

Toni datang seorang diri.

Dengan berteman mobil klasik hitam yang mesinnya meraung garang, kacamata berlensa gelap, dan juga jaket bomber berwarna senada, cowok itu justru terlihat siap untuk nongkrong di warung kopi dibanding siap melawan sekumpulan pria bersenjata. Toni berjalan mengitari mobil, lantas mengeluarkan sesuatu dari bagasi belakang: sebuah ransel yang entah apa isinya. Aku tak ingin menerka.

"Kamu gak mau ngasih aku pelukan selamat datang, Beb?" pekiknya penuh percaya diri setelah menutup kembali pintu bagasi, kemudian berjalan mendekat ke arahku yang sedang berdiri di ambang pintu, setengah ketakutan membayangkan adanya pengintai di luar sana.

Aku memberi Toni tatapan datar. Ingin sekali aku melempari wajahnya dengan sendal tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Mungkin suatu hari nanti.

"Buruan!" bentakku masih sambil menahan pintu.

"Ck, kelamaan bergaul sama Karel nih kamu," Toni bersungut seperti remaja puber, "jadi gak sabaran."

Sembari memutar bola mata, aku berbalik untuk menuntunnya menuju kamar di mana Karel sedang push up tanpa mengenakan baju. Bagus. Kesehatan cowok itu tampaknya pulih dengan cepat. Infus di tangannya telah dilepas, dan rona pucat pada wajahnya mulai memudar. Hanya luka dan memarnya saja yang masih bertahan.

Karel mendongak-dan bergegas berdiri dengan napas yang sedikit terengah-begitu kami melangkah masuk. Aku berusaha keras menjaga pandanganku dari sisi selain wajahnya. Fokus, Tara, fokus, jangan mudah teralihkan oleh ...

"You look like shit!" Seloroh Toni sambil nyengir. Cowok itu melempar ransel hitam yang dibawanya ke atas ranjang, lantas menatap Karel sambil menggelengkan kepala. Mungkin ia tak menyangka temannya yang jago itu bisa babak belur seperti sekarang.

"Semua yang gue bilang udah lo siapin?" Karel mendekati ransel, mengabaikan ucapan Toni dan membuka ritsleting benda tersebut dengan cepat.

"Udah." Toni ikut bergabung di sebelahnya, menghalangi pandanganku dari apapun yang sedang mereka perhatikan. "Mereka semua lagi nunggu lo di kamp. Mereka udah siap."

Aku mengira-ngira siapakah mereka yang ia maksud?

"Kalau gitu kita langsung ke sana," Karel menarik sesuatu dari dalam ransel, "gue gak mau buang waktu." Kemudian ia beralih padaku. "Gue ganti baju dulu, jangan dekat-dekat sama dia. Spesies berbahaya."

"Oh c'mon," Toni menyahut dengan nada dramatis, "gue gak menggigit, Karel, palingan nyakar aja." Lalu ia mengedipkan sebelah matanya kepadaku dengan seringai genit.

Aku berpaling pada Karel sembari mendengus kasar. "Tenang, kemarin gue sempat ninju muka adiknya Bernard, gue gak keberatan untuk ngulangin adegan itu sama dia."

"Ya Lord! ternyata dia juga bar-bar." Toni memandangku ngeri. Yang kubalas dengan tatapan paling galak yang aku bisa. Cowok itu segera mendaratkan dirinya di atas ranjang, kemudian memasang postur duduk manis ala anak sekolah dasar.

Berikutnya kami bersiap-siap untuk pergi meninggalkan kos milik pak Iman yang sudah berjasa ini. Tak ada waktu untuk menyampaikan salam perpisahan, atau sekedar mengucapkan terima kasih pada lelaki itu. Sebagai gantinya, Karel meletakkan segepok uang di atas ranjang bekas ia terbaring tak sadarkan diri kemarin. Dengan harapan uang itu bisa sedikit membantu biaya renovasi bangunan ini.

Kali ini Toni yang memimpin perjalanan. Sementara aku dan Karel duduk di belakang, menikmati suara bising mobil klasik miliknya dalam diam. Langit di luar sana cerah tanpa awan. Biru muda seutuhnya, seperti kanvas yang baru dipoles. Udara menyiarkan hawa panas menyengat melalui angin yang berembus dari celah jendela. Aku heran Karel masih betah mengenakan jaket bertudungnya di tengah cuaca yang mengundang peluh begini.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang