PERTOLONGAN PERTAMA PADA YANG TERLUKA
"Ada pihak lain yang bocorin posisi kita." Karel berkata untuk yang pertama kalinya setelah setengah jam kami meninggalkan pelataran parkir hotel sakit jiwa. Pandangannya fokus ke depan, namun aku bisa merasakan kemarahannya belum juga mereda.
"Maksud lo, mereka bukan dari pihak Decode?"
Karel menggeleng.
Setahuku, tak ada yang mengetahui posisi terakhir kami selain Jil. Aku pun menyuarakan dugaanku. "Kalau gitu, bisa jadi itu King."
Karel tak memberikan respons apa pun. Mobil curian yang dikemudikannya berbelok tajam ke sebuah tikungan yang remang. Di mana matahari sedang bersiap-siap untuk terbit. Cahaya kebiruan menghujani semak belukar dengan kesan mistis. Kedua sisi jalan itu dipenuhi pepohonan yang menjulang, seperti pagar baja yang siap meremukkan apa saja yang berani menghantamnya, dan Karel masih tak tergerak untuk melambatkan kecepatan mobil barang sedikit pun. Aku tidak berani bertanya ke mana kami akan pergi, tapi sepertinya kami masih berada di kota yang sama.
"Komplotan tadi tahu lo lagi dicari polisi, juga orang-orang Decode." Ucapnya ketika kami menemui tiang lampu jalan di antara barisan pepohonan, lampu di atas sana berkedip-kedip lemah. "Resepsionis itu dalangnya, dia ngenalin muka lo waktu kita masuk ke lobi. Kata salah satu penyusup kamar tadi, mereka mau jual lo ke pihak Decode."
Ingin aku memaki tapi percuma saja, toh lelaki itu sudah ditembak Karel.
"Makasih udah nyelamatin gue," gumamku tanpa menatapnya.
Karel mendengus, nyaris tampak kesal. "Semua kesialan yang belakangan terjadi sama lo itu karena gue. No need to thank me."
Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ucapannya barusan memang terbukti benar. Kalau saja aku tak bertemu kembali dengan Karel, atau setidaknya berusaha mengabaikan kehadirannya, mungkin semua ini tak akan pernah menimpa hidupku yang membosankan, datar, monoton, dan nyaris konservatif layaknya rok lipat milik gadis-gadis di novel Jane Austen. Aku bahkan tak tahu aku menyesali semua ini atau tidak.
"Sekarang udah gak ada lagi tempat yang aman buat kita."
Denyut nadiku mendadak meningkat. "Jadi ... lo mau bawa gue kabur ke hutan?" tanyaku setelah beberapa detik merasa ragu.
Cowok itu menghela napas singkat. "Gak ada tempat yang aman bukan berarti kita gak bisa sembunyi."
Karel memelankan laju mobil. Bayang-bayang pohon yang berkelebat mulai tampak jelas. Di depan kami, seekor musang berekor panjang memanjati batang pohon–yang rantingnya menjuntai rendah hingga daun-daunnya melambai ke bawah–dengan sangat cepat ketika lampu mobil menyorotinya bagai bintang rock di atas panggung. Sepertinya kami akan mendekati area pinggir kota.
Selang beberapa menit dari jalanan yang diapit hutan tersebut, kami tiba di sebuah pemukiman yang cukup lengang. Jarak setiap rumah terlihat cukup jauh antara satu sama lain. Semuanya nyaris dibatasi oleh pepohonan. Sungguh sebuah hunian idaman. Karel membelokkan mobil ke sebuah pekarangan rumah yang tampak indah karena ditumbuhi berbagai jenis bunga. Aku memandanginya, minta penjelasan.
"Ini rumah kenalan gue." Jelasnya saat mematikan mesin mobil. "Lo akan sembunyi di sini sementara waktu."
Aku mengernyitkan dahi. "Gue? Terus lo mau ke mana?"
"Bukan urusan lo." Jawabnya dengan nada tak terbantahkan. "Keluar."
Kenapa ia tak turut membawaku bersamanya saja? Bukannya itu lebih aman? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada salah satu di antara kami ketika kami berpisah? Kalau saja ada–
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
AksiTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...