DUA PULUH

678 168 21
                                        

PINTU YANG TERBUKA


Aku terbangun dengan memandangi kaki-kaki lemari.

Bukan karena mimpi yang kualami baru saja berakhir di saat aku sedang terjatuh dari ketinggian, tapi karena seseorang memanggil-manggil namaku. Mulanya terdengar lirih, namun seiring kesadaran menyergapku, aku bisa mendengar suaranya berubah jadi lebih jelas, sedikit serak. Suara Karel.

"Tara."

Dengan kantuk yang masih tersisa, kuangkat kepala dari bantal dan melihat ke arah Karel yang sedang duduk di atas ranjang. Selimutnya yang semula aku letak sebatas dada kini tersibak ke pinggang.

"Phaa-gi." Sapaku sembari menguap. Mencoba mengenyahkan kecanggungan yang ditinggalkan dialog terakhir kami.

"Huh?"

"Pagi, Karel." Aku mengulang dengan perlahan, lantas bangkit dari posisi berbaring menyamping yang membuat tubuhku terasa sedikit kaku.

Cowok itu mengangkat tangan kanannya untuk menunjuk sesuatu. "Sebenarnya ini masih malam."

"Oh?"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Karel, sebuah ventilasi di atas jendela. Dan benar, langit di luar sana masih gelap. Mataku sontak jelalatan ke seluruh permukaan dinding kamar ini, mencoba menemukan jam dinding yang eksistensinya tak pernah ada. Kemudian bertanya-tanya sekarang sudah pukul berapa.

"Siapa yang udah nolong kita?" Karel kembali bersuara. Aku bisa mendengar kepanikan di dalam suaranya yang berat.

Baiklah, aku harus membuat sebuah alasan yang masuk akal agar cowok itu tidak menaruh curiga padaku. "Setelah lo pingsan, gue minta tolong sama pengendara yang lagi lewat, namanya pak Iman," aku berdeham untuk membersihkan tenggorokan, dan juga kegugupan karena membual, "gue bilang ke dia kalo kita korban pemerasan, tadinya begitu ngelihat lo yang gak kunjung sadarkan diri, pak Iman mau bawa lo ke rumah sakit, tapi gue bilang kita udah gak punya apa-apa lagi buat bayar biayanya, jadi dia langsung bawa kita ke tempat ini, kos punya dia yang mau direnovasi tapi perabotnya belum diangkut."

"Dan dia sama sekali gak curiga waktu ngomong sama lo?"

Aku mengedikkan bahu. "Kayaknya dia gak tahu kalau gue pernah muncul di berita orang hilang."

Karel memerhatikan infus yang melekat di tangan kirinya sebelum kembali bertanya padaku. "Jadi yang masangin infus ini siapa?"

"Mm, kebetulan dia ... mantan perawat."

"Gue gak percaya kebetulan." Akunya dengan nada melamun. Jantungku mulai berdebar panik. Apa Karel telah menyadari bahwa aku hanya berbohong?

"Dia ada di sini?"

Aku menggeleng. "Pak Iman tinggal di rumahnya yang gak jauh dari sini."

"Terus kenapa lo tidur di lantai?"

Sebenarnya pak Iman telah mengizinkanku untuk beristirahat di kamar sebelah. Tapi Karel pasti akan sangat terkejut begitu ia menyadari aku tak berada di dekatnya di saat ia terbangun di sebuah tempat yang tak dikenal. Jadi kuputuskan untuk tidur di atas lantai, tepat di tengah-tengah ruang, beralaskan seprai dari ranjang kamar sebelah yang bantalnya turut kucomot.

"Ninggalin lo sendiri di kamar ini kayaknya bukan ide bagus." Aku memasang senyum masam, lantas beranjak mendekatinya karena baru saja teringat ucapan Daryl. "Tadi pak Iman nyuruh gue ngasih lo obat kalo udah bangun."

Aku meraih dua jenis obat berbentuk tablet yang tadi Daryl tunjukkan kepadaku. Masing-masing dengan aturan minum tiga kali sehari. Yang berarti Karel harus menelannya setiap delapan jam. Aku lupa bertanya apa saja fungsi obat tersebut.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang