FIRASAT
Sebuah ide berani terbit di benakku saat aku menyalakan pengering rambut dan mengarahkannya ke kepala. Well, sebenarnya ide itu melintas ketika kulihat sebuah gunting tergeletak di dalam laci lemari kamar mandi. Sebuah ide yang akan membawa perubahan besar di dalam hidup seorang Tara sebagaimana Bill Gates menelurkan Windows: aku akan memakai poni! Kedengarannya memang sederhana tapi aku yakin hasilnya akan memuaskan. Jangankan polisi, oma pun akan kesulitan mengenali diriku.
Ha! Lihatlah siapa yang punya otak brilian.
Kalau soal mengecat aku memang payah, tapi kalau soal menggunting ... aku juga tidak begitu jago, sih. Tapi setidaknya aku tahu teknik menggunting rambut yang benar. Hasil dari memperhatikan Linda–yang bernama asli Doni–di salon tempat aku biasa memotong rambut. Orangnya kelewat ramah dan punya jenis tawa yang menular. Mungkin setelah ini aku bisa mengajukan diri untuk menjadi siswa perdananya. Mataku setengah terpejam saat gunting kugerakkan secara perlahan dan hati-hati di bagian rambut yang telah kupisahkan ke depan wajahku.
Krek, krek, bunyinya terdengar gurih.
Sesudah meratakan bagian yang masih terlihat panjang pendek, aku memastikan kembali jika hasil guntinganku itu enak dipandang. Dan voila! Poni baruku yang samar-samar menutupi alis sudah jadi. Mari tanyakan pendapat Karel. Semoga cowok itu tidak ngamuk karena aku tak mengabarinya soal ini. Tapi untuk apa juga aku mengabarinya? Ini kan rambutku. Persetan kalau dia tak terima. Aku tak mungkin menyambung kembali satu persatu helai rambutku dengan lem besi.
Jadi sudahlah, lupakan saja. Lebih baik aku membersihkan segala kekacauan yang kubuat di kamar mandi ini sebelum bertemu muka dengan cowok moody-an itu. Baru kemudian menyingkirkan serpihan rambut dari wajah dan juga pakaianku–celana training dan kaus hitam berkerah V tanpa motif. Kusisir kembali rambut baruku hingga terlihat cukup rapi dari sebelumnya. Sebentar, kenapa aku harus merapikan diri? Sejak kapan aku punya ritual merapikan diri sebelum tidur?
"Tar!" sebuah teriakan dari sisi lain pintu mengagetkanku. Tak cuma itu, pelakunya yang tak sopan juga menggedor dengan tak sabaran. "Lo lagi diare atau kena serangan shock?"
"Serangan alien!" makiku sembari membuka pintu. Dan cowok itu mematung di tempat ia berdiri, dengan siku yang bersandar pada dinding.
"Kenapa diem? Aneh, ya?" aku menyentuh ujung poni sekilas. "Ini buat nguatin penyamaran gue."
"Oh," Karel menggaruk bagian belakang kepalanya sebelum mengangguk cepat, "it works."
Aku menaikkan sebelah alis. Menyiratkan sebuah: Serius nih?
"Lo kelihatan ... beda." Karel menjelaskan, singkat.
"Beda dalam artian positif atau negatif?"
"Positif." Cowok itu mendengus. Lantas menyeretku keluar dari kamar mandi dengan cara paling mulia yang mampu ia lakukan: menarik ujung lengan kausku. "Tidur sana." Titahnya selagi menutup pintu di depan wajahku.
Kesal sendiri, kutendang pintu itu sebelum berbalik untuk menuruti perkataannya. Namun saat aku akan melompat ke atas ranjang, ekor mataku mendapati tirai jendela kamar ini belum ditutup. Karena tak ingin terbangun dengan cahaya matahari pagi yang menyorot wajahku bagai sinar laser ultra beam, kudekati kain yang masih tersibak ke tepi itu dan bergegas menariknya.
Saat itulah, ketika tatapanku menyapu pemandangan di luar sana, kulihat si pria gemuk berkaca mata sedang menyusuri jalan sempit di belakang hotel yang minim penerangan. Gerakannya yang celingukan sedikit mencurigakan. Ia menoleh ke belakang sebelum akhirnya menghilang di sebuah belokan kumuh. Hah, pergilah sejauh mungkin pria menyebalkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/212951236-288-k459465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
ActionTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...