SINDIKAT
Klik.
Aku masih bernapas. Aku masih bisa merasakan perih di sekitar dada dan bahuku, dan juga eratnya ikatan di tubuhku, yang berarti aku masih hidup. Revolver itu hanya menembakkan udara hampa. Tapi aku belum bisa bernapas lega.
"Ah, rupanya Winston tak ingin terburu-buru." Bari terkekeh ringan. "Mulia sekali untuk seukuran senjata yang pernah merenggut nyawa lebih dari dua puluh orang."
Karel mengepalkan tangan menjadi tinju selagi ia mengeraskan rahangnya.
"Mari kita berpindah pada pertanyaan selanjutnya, di mana bukti-bukti itu sekarang?"
Dinginnya permukaan revolver yang menembus kulit wajahku membuatku tak dapat berpikir dengan jernih. Rasanya seperti sedang berdiri di tengah rel yang keretanya sedang melaju dalam kecepatan tinggi ke arahku. Atau berada di sebuah kapal yang sedang tenggelam di tengah lautan lepas. Sel-sel otakku terlalu fokus menghadapi gagasan tentang kematian. Apakah aku akan merasakan sakit? Mungkinkah mati itu seperti saat kau beranjak tidur? Mata terpejam, kesadaran menghilang, lalu tahu-tahu kau sudah tiada.
Klik.
Aku terperanjat. Lelaki brengsek itu menarik pelatuknya tanpa sepengetahuanku.
"Wah, wah, wah," Bari berdecak kagum, "ada apa dengan Winston? Apa sekarang dia jadi lemah terhadap perempuan? Bagaimana kalau kita coba sekali lagi?" lelaki itu kembali mengarahkan moncong revolvernya ke kepalaku, "kali ini gak mungkin gagal."
"Oke," Karel akhirnya bersuara, "gue akan tunjukin di mana file itu, tapi lepasin dia."
Bari tersenyum penuh kemenangan. "Ada uang ada barang, perlihatkan dulu buktinya, baru dia saya bebaskan."
Karel mendengus kasar. "Gue perlu komputer untuk buka aksesnya."
"Oh, silakan," Bari melambai ke arah tiga monitor di balik punggungnya, "jangan sungkan, anggap aja komputer sendiri."
Dua orang pria di samping Karel mendorong bahu cowok itu supaya ia segera berjalan ke sana. Setibanya di depan komputer, Karel menarik kursi, tapi alih-alih duduk untuk mewujudkan permintaan Bari, ia malah berbalik ke arah kami.
"Gue punya firasat kalau lo akan curang, jadi, supaya gue bisa ngakses bukti-bukti itu dengan tenang, tolong bawa dia ke sini atau lo harus ngabisin seumur hidup lo untuk nyari di mana bukti itu berada."
"Banyak mau sekali." Bari memprotes kesal, namun ia mengangguk pada kedua pria di sisiku. "Lepasin ikatannya, suruh dia berdiri di dekat komputer itu, langsung tembak kakinya kalau dia berani bergeser."
Salah satu di antara pria itu lekas bergerak ke belakang tubuhku untuk membuka ikatan maha erat ini. Selanjutnya, setelah menarik lakban dari wajahku, ia melepaskan tali yang melilit kedua kakiku dengan total waktu sekitar lebih dari satu menit. Lalu tangannya yang kasar menyentak kedua bahuku ke atas, memaksaku untuk berdiri hingga aku terhuyung pada langkah pertama. Kuulurkan sebelah tangan untuk menutupi bagian kerah bajuku yang ternyata terkoyak cukup jauh.
"Cepat jalan!" bentak si pria yang satunya lagi, pistolnya masih terarah mantap ke kepalaku.
Detik berikutnya, aku mendapati diriku sedang berdiri di sisi Karel dengan gemetar. Tepat di bawah bidikan delapan unit pistol yang sudah siaga sedari tadi. Setiap moncongnya seakan menyenandungkan maut. Dan yang semakin membuatku takut, Karel tak melihat ke arahku satu kali pun. Aku sungguh berharap ia mengatakan sesuatu untuk menenangkanku seperti kita pasti selamat, atau jangan takut. Tapi nyatanya cowok itu mengabaikanku dan langsung menenggelamkan diri pada komputer di hadapannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/212951236-288-k459465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RUNAWAY (TAMAT)
AksiTara, seorang manajer cafe yang terjebak dalam rutinitas kehidupan monoton, bertemu kembali dengan cowok yang pernah menarik perhatiannya di masa lalu, Karel. Sedikit yang Tara tahu, pertemuan mereka pagi itu malah menyeretnya ke dalam sebuah kasus...