LIMA

799 176 42
                                    

KING BED


"Lo bercanda." Aku mendenguskan tawa kasar.

Bukan karena merasa terhibur oleh sebuah guyonan yang lucu. Tapi karena Karel baru saja berkata bahwa malam ini, di motel terselubung milik Jil, kami akan tidur sekamar. Yep. SEKAMAR. Aku dan Karel. Cewek dan cowok tanpa hubungan apa pun. Tidur di ruang yang sama. Aku tak sampai hati menyebutnya seranjang.

Karel memberiku tatapan datar. "Sekamar bukan berarti tidur seranjang, duh." Ia memutar bola mata dengan sarkastis. Lantas berjalan melewatiku menuju pintu kamar mandi di sudut ruang. "Kalo lo laper, di ujung koridor lantai ini ada surga makanannya Jil." Kemudian pintu kamar mandi ditutup.

Karel sama sekali tak menganggap ini adalah suatu hal yang sakral.

Baiklah. Aku akan pergi menemui cowok gila itu untuk meminta kamar yang lain. Bangunan sebesar ini pasti memiliki sejumlah kamar kosong yang dapat kugunakan untuk beristirahat sampai pagi tiba. Berjalan ke luar kamar, aku bertemu dengan dua lelaki berotot yang mengenakan kaus hitam ketat. Terlalu ketat sampai-sampai aku tak dapat memalingkan tatapanku dari sesuatu yang menonjol di dada keduanya.

"Ehem!" Si lelaki berotot nomor satu berdeham, aku pun tersentak sadar. Tampaknya mereka sedang berjaga di depan pintu kamar kami.

Aku meneguk ludah. "G-gue mau ketemu Jil."

Lelaki berotot nomor dua mencondongkan tubuhnya ke depan. Matanya memicing curiga. "Ada keperluan apa?"

"Rahasia."

Ia menoleh pada lelaki berotot nomor satu, seakan sedang bertelepati melalui pandangan.

"Karel yang nyuruh." Tambahku buru-buru saat mereka terlihat tak akan membiarkanku pergi lebih jauh. Ayolah, jangan susahkan gadis malang ini. Aku tak dapat membayangkan diriku tidur di dalam kamar itu, berbagi selimut dengan ...

Kedua lelaki di hadapanku langsung berdiri tegak.

"Mari, saya antar." Si lelaki berotot nomor satu menyahut dengan sopan. Tampaknya nama Karel memiliki efek yang cukup berpengaruh pada mereka.

"Eh, enggak perlu." Aku memaksakan sebuah senyum. "Gue sendiri aja."

Mereka kembali saling melempar pandang. Tapi tidak begitu lama sampai lelaki berotot nomor dua mengangguk padaku.
"Anda bisa menemui tuan Jil di ruang pribadinya di ujung koridor ini," jelasnya sembari menunjuk ruang yang dimaksud.

"Oke."

Bergegas kulangkahkan kaki menuju tempat yang tadi disebut Karel surga makanan Jil. Sepertinya ini saat yang tepat, berhubung aku sedang lapar. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Minta kamar baru, lalu makan sampai mampus.

Ada aroma manis yang melayang-layang begitu aku mendekati ujung koridor. Antara bau stroberi atau nanas. Hidungku tak dapat membedakannya. Aroma itu mungkin berasal dari dari sebuah ruang yang pintunya setengah terbuka di ujung koridor.

Aku melongokkan kepala di antara celah pintu sebelum mantap melangkah ke dalam ruang yang dikepung oleh dinding kaca itu. Sejumlah meja bundar yang dikelilingi sofa merah gelap–yang terlihat sangat empuk–tersusun rapi di depan sebuah bar yang berpendar biru. Berikutnya pandanganku mendarat pada punggung Jil yang sedang membelakangiku, cowok itu duduk seorang diri, menghadap ke deretan botol pada rak dinding di belakang meja bar.

"Jil."

Cowok itu menoleh ke arahku, setengah kaget. Kemudian ia terkekeh pelan.

"Biar gue tebak," senyum nakal bermain-main di wajahnya, "Karel orangnya gak asik, jadi lo mutusin buat mabok bareng gue di sini, iya, kan?"

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang