TUJUH

725 179 23
                                    

HOTEL SAKIT JIWA

Begitu petugas kasir menyerahkan kembali kartu kredit milik Jil pada Karel, kami segera menyambar kantong belanjaan dan berpura-pura berjalan ke arah toilet di bagian belakang supermarket.

Pria berkemeja putih itu masih berada di depan meja kasir saat kami berbelok ke lorong di mana toilet terletak. Tepat di samping sebuah pintu dengan kalimat peringatan: hanya untuk karyawan. Ke sanalah Karel menuju. Cowok itu melihat sekitar, sesaat sebelum mendorongku masuk ke dalam.

Sialan, Karel. Bagaimana jika di dalam sana ada se-lusin karyawan yang sedang super sibuk dan separuh di antara mereka adalah tipe temperamental? Aku belum siap untuk dicaci-maki. Tapi alih-alih diusir seperti yang kukira, kami malah menemui sebuah gudang barang yang tampak lengang. Gudang itu disesaki oleh deretan rak-rak tinggi warna biru tua. Tempat di mana ratusan kotak dari beragam produk berdesakan. Lampu neon yang tergantung di bawah plafon menyala terang.

"Di sana!"

Karel menunjuk sebuah pintu besi lipat yang tertutup rapat di ujung gudang. Nyaris terhalangi oleh tumpukan kardus yang menjulang dan juga sebuah troli barang–pada bagian atasnya terdapat dua gelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis. Kami harus segera pergi sebelum pemilik minuman itu kembali ke sini.

Ketika Karel sedang berusaha membuka pintu tersebut, mendadak saja terdengar suara orang-orang yang berbicara dari sisi lain ruang. Setiap detiknya semakin dekat. Oh tidak. Pintu itu tak mau bergeser se-inci pun meski Karel tampak telah mengerahkan seluruh tenaganya. Di detik yang sama, kami menyadari sesuatu. Pintu laknat itu sedang dalam posisi terkunci. Double sialan. Aku dan Karel berpandangan. Panik. Cepat atau lambat kami pasti akan ketahuan. Entah oleh staff supermarket, polisi, atau barangkali si pria berkemeja putih tadi.

Tapi sekarang bukan saatnya untuk putus asa. Pasti ada jalan keluar selain pintu itu–yang bisa saja terlewatkan oleh pandangan belingsatan kami.

Aku melihat sekeliling sekali lagi, dan menemukan sedikit celah pada tumpukan kardus yang letaknya beberapa meter dari pintu besi. Di belakangnya, ada sesuatu pada dinding yang tak tertutupi dengan sempurna. Aku mengulurkan tangan untuk mencoba menggeser kotak paling bawah, sebelum akhirnya melihat sebuah jendela di balik sana. Tanpa tunda lagi, aku menarik lengan Karel supaya cowok itu mendekat.

"Jendela!" seruku sebelum cowok itu sempat protes.

Jendela itu cukup lebar untuk kami lalui, namun cukup tinggi untuk kucapai seorang diri. Karel bergegas menyingkirkan tumpukan kardus tersebut hingga kami dapat berdiri di bawahnya.

"Sini." Karel memintaku menyerahkan kantong belanjaan kami padanya.

Kemudian, tanpa aba-aba, peringatan, ataupun permisi, Karel mengangkat tubuhku dari atas lantai. Aku yang terkejut berusaha mengimbangi posisiku dengan menggapai tepian jendela, tentu saja sambil menahan makian yang ingin melompat dari mulutku. Kalau saja tak memikirkan suara-suara yang semakin mendekat itu, sudah pasti cowok ini kutendang habis-habisan.

"Buruan buka jendelanya!" Karel menghardik, napasnya sedikit tersengal.

"Lo pikir gue lagi ngapain?!" aku balas mendesis.

Untung saja jendela itu menggunakan kunci geser biasa. Tanpa gembok, dan juga pagar terali. Aku menggeser jendela hingga terbuka lebar begitu kuncinya terbuka. Dan keterkejutan yang kurasakan barusan ternyata tak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang sedang kulihat saat ini.

Aku menelan ludah. "Rel, ini ... gue langsung lompat?"

"Terbang aja kalau lo bisa." Sahutnya sarkastis. "Emang ada pilihan lain, huh?"

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang