DUA PULUH TUJUH

1K 185 67
                                    

KEMBALI KE RUMAH

Enam bulan telah berlalu semenjak kejadian itu.

Aku kembali menjalani hari-hari seperti semula. Seperti yang seharusnya terjadi. Bekerja, pulang, bersosialisasi, melakukan hobi, dan begitu seterusnya hingga aku kembali tenggelam di dalam lautan bosan. Monoton. Jika hidupku sebelumnya terasa datar seperti garis lurus di dalam kardiogram, maka sekarang garis itu telah menghilang. Menyisakan latar hitam yang kosong. Hidupku hampa tanpa perantara sang pengejut listrik.

Aku tak pernah melihatnya lagi. Tidak satu kali pun. Tak peduli sejauh apa aku berusaha mencari. Cowok itu benar-benar menepati janjinya. Karel telah pergi dari hidupku dan kini ia nyaris terasa seperti mimpi. Kalau saja ada cara supaya aku tetap berada di dalam mimpi itu, aku bersedia melakukannya. Sekalipun itu berarti hidupku berakhir.

Tapi mana ada mimpi yang abadi. Mimpi akan selalu menjadi mimpi. Ilusi. Tidak nyata.

Berbagai cara telah aku coba untuk mengenyahkan bayang wajah cowok itu dari benakku. Namun semakin giat aku berusaha, semakin kuat pula ia di ingatan. Ada yang bilang kesibukan dapat membuatmu lupa. Well, aku sudah melakukannya, dan itu tidak berhasil. Aku malah semakin tertekan. Sepertinya aku menggunakan metode yang salah.

Di tengah keputusasaan, aku mendadak menemukan solusi lain. Carilah orang baru. Seseorang yang selalu ada untukmu. Sialnya, hatiku terlalu membatu untuk itu. Aku sama sekali belum siap. Jadi, biarlah semua kenangan itu mengalir deras, aku tak akan menentang arusnya lagi. Semoga waktu mampu mengikisnya perlahan-lahan.

Berguling ke samping, kulihat jam di sisi ranjangku menunjukkan pukul tiga dini hari. Mataku langsung bergulir pada foto tepat di samping jam itu. Foto yang diambil sewaktu aku dan Karel mengunjungi festival valentine. Lucu sekali mengingat aku berusaha melupakannya dengan tetap memajang foto itu. Suara serak Brad Arnold yang membawakan lagu Here Without You di telingaku kini berganti menjadi suara Danny ODonoghue dengan The Hurt Game-nya.

Its been so long, been so much time

The years have passed, but still, youre on my mind

So tell me, is it fate or just an illusion?

Ketika kau patah hati, semua lagu sedih itu mendadak terasa hanya tercipta untukmu. Masih dengan earphone yang menempel di telinga, aku berjalan ke balkon kamar, lantas berdiri di sisi pagar setinggi pinggangku untuk mencari udara segar. Pot-pot kecil yang berisi kaktus mungil berjejer rapi pada bagian tepi puncak pagar.

Balkon kamarku ini menghadap ke sebuah bangunan kosong yang entah apa fungsinya. Aku tak pernah mencari tahu atau bertanya kepada siapa pun. Untungnya bangunan itu rendah, sehingga atapnya yang seperti piramida tak menghalangiku dari pemandangan yang menjadi sarana melamun. Pendar cahaya di garis tepi perumahan, kerlip bintang di langit, dan juga siluet puncak pepohonan.

Kadang aku berpikir aku mulai gila. Pernah beberapa kali aku merasa melihat sosok Karel di sejumlah tempat yang aku datangi. Tapi begitu kudekati, sosoknya malah lenyap seperti asap. Bahkan yang lebih parah, menjadi orang lain. Mungkin sudah saatnya aku menemui psikiater andal. Menceritakan semua keluh kesahku yang pernah kabur bersama seorang buronan, lantas jatuh hati padanya di tengah pelarian kami.

Jika ia bertanya bagaimana bisa itu terjadi, jawabannya sederhana. Karena dia Karel. Karel yang bersifat dingin tapi sebenarnya peduli. Karel yang selalu memilih tidur di sofa meski kami menemui ranjang maha luas. Karel yang selalu pasang badan saat bahaya mengancam kami. Karel yang tak suka difoto, membenci cokelat, dan jarang tersenyum. Karel yang dipenuhi tato dan rahasia. Karel yang sanggup membuatku terintimidasi hanya dengan kehadirannya. Dan dia satu-satunya Karel yang membuatku sadar bahwa jatuh hati itu tak memerlukan alasan.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang