LIMA BELAS

678 168 22
                                        

LAUTAN MENDUNG

Aku bersumpah demi apa pun yang ada di dalam ranselku, jika kami selamat, aku akan berusaha datang lebih awal ke kafe oma, berhenti menjahili Dipta, dan juga mentraktir seluruh karyawan kafe untuk makan seadanya. Tak ada batu, serpihan karang pun jadi. Kulempar benda itu sejauh mungkin dari pandangan. Ombak yang bergulung seketika menyambut lemparanku, menyisakan buih yang tertatih-tatih di bibir pantai.

Karel bilang ia sedang mencoba menarik perhatian para pengejar kami ke tempat ini. Di sebuah pantai terpencil yang tak banyak diketahui oleh wisatawan, namun terdapat sejumlah warung tepi pantai yang menyajikan makanan khas laut. Karel bilang mereka mungkin memata-matai kami melalui peretasan CCTV di sepanjang jalan menuju kemari. Tapi sampai sekarang, pukul tiga sore lewat lima belas menit, belum terlihat satu pun tanda kedatangan salah satu dari mereka.

Kuhirup udara asin di bawah terik matahari yang masih mencoba menghanguskan kulit. Menyesap dalam-dalam simfoni antara gelombang dan embusan angin yang tiada henti hingga lautan membanjiri tubuhku. Rasanya nikmat, sekaligus menyakitkan.

Aku merindukan rumah.

Aku rindu omelan oma. Aku rindu bergadang hingga pagi dan juga ngumpul bareng Dipta di kedai kopi sampai lewat tengah malam. Kekonyolan para karyawan kafe, bahkan pelanggan tak tahu diri yang sering kali membuatku naik pitam. Aku merindukan semua itu karena tak satu pun di antara kehadiran mereka ada yang mengancam nyawa. Aku rindu kehidupan lamaku. Kehidupan yang monoton namun berlangsung damai. Dadaku mendadak disesaki oleh perasaan perih yang menyayat sekali.

Bisakah semua ini kembali seperti semula hanya dalam satu kedipan mata?

Tiga puluh menit berlalu, jawabannya tak kunjung kutemukan. Sejauh garis di mana langit dan laut tampak menyatu, mungkin seperti itulah jawaban yang kucari. Seraya mengembuskan napas panjang, kutarik kedua kaki yang sedari tadi kubenamkan di dalam pasir yang sejuk. Menoleh ke belakang, kulihat Karel sedang duduk di dekat api unggun sembari merokok.

Lucu sekali, malam belum tiba tapi dia sudah lebih dulu menyalakan timbunan ranting itu. Kupikir ia sedang melamun meratapi rencananya yang mungkin belum rampung, namun begitu jarak kami hanya tersisa dua meter, aku menyadari pandangan cowok itu sedang mengikuti gerak-gerikku. Karel mendadak mencampakkan rokoknya yang terlihat masih panjang ke lidah api. Lantas mengibas-ngibas asap yang menari di sekitar tubuhnya seperti sedang mengusir lalat.

"Gak jadi bunuh diri?" tanya Karel setibanya aku di sisinya. Beberapa saat lalu aku memang mengucapkan kalimat sarkas tersebut karena ia tak membiarkanku pergi lebih dari tujuh belas meter.

Aku menggeleng. "Ombaknya gak tinggi, yang ada gue disengat ubur-ubur sampai mati, dan itu sama sekali gak keren."

Karel tersenyum. Aku meliriknya dua kali untuk memastikan mataku tidak sedang melakukan tipuan. Dan ya, cowok itu memang sedang tersenyum pada lautan. Pertanda apakah ini? aku tak ingat kapan aku pernah melihat ekspresi selain datar, kesal, dan masam di wajahnya yang rupawan.

Ia melirikku, bergegas kualihkan pandangan pada ranting yang terbakar di depan kami. Dan hei, Karel tak hanya membakar ranting rupanya. Ada barang lain yang turut hangus di dalam sana.

"Itu bukannya coklat dari Toni?" tanyaku sambil memerhatikan pita merah menjuntai yang sudah setengah meleleh berikut isi cokelatnya. Aku menatap Karel tak percaya. "Kan dia ngasih gue!"

"Hah? Masa?" Karel memajukan tubuhnya ke depan, turut menilik celah api unggun, seolah bukan dirinya yang menyalakan api. "Wah, gue gak lihat berarti."

Aku mendecak sebal. Lantas bergeser menjauh dari posisinya dengan mulut terkunci. Ini sih sama saja aku tak menghargai pemberian orang lain.

Karel sontak mendengus. "Percaya omongan gue, Toni punya lebih dari selusin coklat berpita di kamarnya buat dibagikan ke setiap cewek yang dia temui."

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang