DUA

1.1K 187 47
                                    

PANDANGAN PERTAMA



Sembilan tahun lalu

Menurutku tidak ada pelajaran yang membosankan di dunia ini. Adanya guru yang salah menggunakan metode mengajar, dan juga kurangnya minat untuk belajar dari si murid. Semua kembali pada niat masing-masing, dan juga pada apa yang diprioritaskan.

Seperti diriku, yang lebih memprioritaskan tidur sementara pak Mulyo serius berkhotbah di depan kelas.

Ada nada-nada tertentu dalam suaranya yang mampu menghipnotisku untuk memejamkan mata. Seperti alunan ballade milik Chopin. Teratur, begitu menenangkan, tiap beberapa detik not itu menyerang titik kantukku dengan tepat, hingga kesadaran mulai meninggalkanku, suara pak Mulyo mendadak lenyap.

Tapi aku belum masuk ke alam tidur, belum sepenuhnya. Ada sesuatu yang tampaknya membuat guru empat puluh tahun itu menghentikan ceramahnya yang sama sekali tak berkaitan dengan pelajaran. Hal ini jarang terjadi. Lalu terdengar suara lain yang berbicara. FYI, pak Mulyo lebih suka melihat muridnya tertidur di kelas daripada melihat seseorang menyela ucapannya yang maha penting.

Membuka mata, kuangkat sedikit wajah dari atas meja.

Pak Dendi, waka kesiswaan yang galaknya bukan main, sedang berdiri di depan kelas. Kulitnya yang segelap kulit alpukat kematangan berbanding kontras dengan kemeja putih rapi yang ia kenakan. Hawa tegang melayang-layang di antara kami. Gawat. Jangan-jangan ini razia dadakan. Buru-buru kusembunyikan ponsel di dalam laci yang ujungnya telah kumodifikasi dengan kayu tambahan.

Kedua guru itu tampak sama-sama memasang senyum palsu. Siapa pun di kelas ini bisa melihat keterpaksaan itu. Yang satu tampak tak ikhlas dengan apa yang sedang dilakukannya, yang satu lagi jelas merasa terganggu karena kedatangan tamu tak terduga.

O-oh bukan pak Dendi, tapi seorang cowok yang dipinta guru itu untuk masuk ke kelas kami, itulah tamu kejutannya.

Jeritan tertahan mendadak menggaung di sekitarku. Wajah-wajah cewek memerah. Sebagian dari mereka tersenyum lebar, sebagian lagi melotot, sisanya seperti kesetrum di bangku masing-masing. Saat aku mengira kelasku sedang dilanda kesurupan massal, suara pak Dendi yang menggelegar bak petir siang bolong membuat mereka semua kembali bungkam.

Aku menegakkan punggung, lalu bersandar pada dinding di sebelahku.

"Tidak perlu saya jelaskan lagi kalau kelas kalian kedatangan murid baru," ucap pak Dendi tegas. Lantang.

Ah, pantas saja mereka semua kesenangan. Anak baru rupanya. Aku memperhatikan cowok yang berdiri di sisi pak Dendi itu dari bawah ke atas. Seragam sekolah kami pasti telah dipermak habis-habisan supaya pas di badannya yang kurus tinggi. Rambutnya–yang sudah pasti membuat pak Dendi sakau mencari gunting karena gatal ingin memangkas–dibiarkan panjang hingga menutupi dahi. Tapi alis tebalnya masih mengintip malu-malu. Dan dinilai dari wajah datar itu, sepertinya ia berdarah barat campur oriental.

"Gue Karel, salam kenal," ujarnya bernada malas, semi terpaksa.

Suara husky itu pasti memberi efek layaknya happy five yang mengundang euforia bagi perempuan binal di kelasku. Sampai-sampai ada yang berani bertanya dengan lantangnya, "Karel, nama lengkapnya apa? Sekalian id line sama nomor whatsapp, ya." Suara cempreng itu jelas tak memusingkan keberadaan pak Dendi yang sudah mendelik jengkel.

Seisi kelas menyoraki dengan bimbang, was-was jika ditegur pak Dendi. Kupikir cowok itu akan tetap bungkam, tapi nyatanya ia membuka mulut dan berkata, "nama gue cuma Karel."
Dan ia kembali memasang ekspresi datarnya.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang