DELAPAN BELAS

594 159 34
                                    

BERTAHAN ATAU LEPASKAN

Jika beberapa hari lalu ada seseorang yang mengatakan aku akan duduk semobil dengan seorang bandar narkoba untuk dijual, aku sudah pasti mengatainya sinting.

Tapi nyatanya di sinilah aku sekarang. Di dalam mobil yang bagian belakangnya mengangkut berbungkus-bungkus pil ekstasi yang telah disamarkan dalam bentuk camilan ringan. Si pemimpin komplotan ini menunjukkannya dengan bangga padaku saat mobil melintasi bagian depan taman. Ia membuka salah satu bungkusan tersebut, lantas mengeluarkan pil ekstasi yang ternyata dipisah dalam sebuah kantong bening, dan menawarkan isi camilan yang tersisa kepadaku.

"Silakan, jangan malu-malu." Seringainya melebar.

Aku tak sudi memberikan respons apa pun pada pria ini. Bahkan diamku pun tak layak ia terima. Kualihkan pandangan ke depan, bergeming bagai maneken di balik etalase. Bisa kudengar pria itu mendengus kesal, seolah tak terima diabaikan.

"Dasar jalang." Makinya sambil mencampakkan bungkusan itu ke pangkuanku keras-keras. Isinya seketika berserakan di atas lantai mobil. Pria itu mendengus jijik.

Aku masih mematung. Diam-diam memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari dua orang pria yang mungkin saja akan mematahkan kakiku jika aku memberikan perlawanan sengit. Aku harus mencari cara yang lebih halus. Melompat pada saat mobil sedang melaju jelas bukan pilihan bagiku. Lagi pula semua pintunya dikunci.

Aku harus menipu mereka.

"S-saya mau ke toilet." Ucapku berusaha setenang mungkin. Setelah mereka menghentikan mobil ini, aku akan berlari dan berteriak ke siapa pun yang aku temui.

Pria yang bernama Bari itu memandang wajahku dengan raut menilai. Seperti berusaha mencari kebohongan yang terselip di kata-kataku barusan. Bekas jahitan di pelipisnya melebar saat sebelah alisnya terangkat. "Silakan buang air di mobil ini. Saya gak keberatan." Kemudian ia memalingkan wajahnya ke sisi lain.

Sialan. Siasatku terbaca. Aku harus menemukan rencana B.

"Halo, Bim?" pria di balik kemudi sedang menerima panggilan masuk dari ponselnya. "Belum jauh, sekitar lima puluh meter dari taman, kenapa?" jeda sesaat. "Oke."

Laju mobil mendadak melambat.

"Ada apa lagi?" Bari memajukan tubuh ke depan, penasaran.

"Bima bilang dia sama yang lain mau buang badan anak itu, barang yang di mobil mereka mau dititip ke kita."

Gak mungkin! Karel gak mungkin ...

Bari tersenyum miring padaku. "Jangan kaget gitu, manis, masih banyak kok yang lebih keren dari dia." Pria itu merangkulkan tangan kotornya ke pundakku, lantas bergeser mendekat, "udah gak usah nangis lagi."

Aku tak tahu apa yang merasukiku, tapi begitu ia mendekatkan wajahnya ke arahku, sebelah tanganku bergerak meninju wajah menyebalkannya sekencang mungkin. Buku-buku jemariku langsung berdenyut nyeri. Sakit sekali, tapi aku terlalu kesal untuk memedulikan rasa sakit itu. Berikutnya, tanpa buang waktu, kuayunkan kaki untuk menginjak area terlarangnya, pria itu sontak menjerit.

"Bajingan!" jeritku dengan suara yang pecah karena menangis.

Tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk menemukan kekuatan dan melawan balik. Ia mengayunkan tangan, menamparku sembari menggeram rendah. Tamparan paling menyakitkan yang pernah aku terima belakangan ini.

Ia memberiku peringatan sembari menatap tajam. "Coba sekali lagi, saya pastikan jari-jari kamu patah!" semburnya langsung di wajahku.

Mobil telah menepi ke bahu jalan yang sepi. Di luar jangkauan cahaya lampu jalan, menyatu dalam keremangan. Mesin dalam keadaan mati. Dan aku masih terisak karena serangan sakit yang kurasakan dari luar maupun dalam. Perasaan kecewaku terhadap Karel belum surut sedikit pun, bahkan hal itu membuatku ingin menjauhi dirinya. Namun di saat yang sama, aku tersadar jika diriku tak siap kehilangan sosoknya secepat ini. Semua kegalauan itu rasanya sanggup membuatku gila.

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang