1. Hari Itu

4.5K 109 33
                                    

"Saya terima nikahnya Zafina Nur Choirunnisa binti Sulaiman dengan mas kawin sebesar 30 gram emas dibayar tunai."

"Sah? Sah?" tanya penghulu kepada para saksi di samping kanan-kirinya.

"Sah!" sahut mereka.

"Alhamdulillahirobbil'alaamiin.."

Para tamu undangan yang saat ini hadir di hari bahagia kami mengucap rasa syukur diiringi doa-doa yang mereka harapkan untuk diri mereka sendiri juga untuk kami yang baru saja menjadi sepasang suami-istri.

Ya. Kami. Aku dan suamiku.

Aku beranjak dari tempat dudukku dengan perasaan campur aduk antara bahagia, deg-degan, dan juga kikuk. Perlahan para sahabatku yang menjadi my bridesmaid membuka tirai putih bening agar aku bisa melangkah keluar dari ruangan kecil tersebut setelah melihat calon suamiku -yang sekarang telah resmi menjadi suamiku- mengucapkan ijab kabul di hadapan papaku.

Aku terlalu kikuk. Mungkin beginilah perasaan seorang wanita saat menjadi pusat perhatian orang-orang bak permaisuri untuk satu hari bahagia mereka. Ternyata aku merasakannya hari ini.

Suamiku beranjak dan menatapku berbinar. "Cantik," pujinya.

Aku tersipu malu saat suamiku mengulurkan salah satu tangannya agar aku raih dan kugenggam.

Jujur. Dia adalah lelaki ketiga yang menjabat tanganku setelah papaku dan adik bungsuku, dan... aku sangat kikuk.

Mbak Dewi, person in charge pengantin, menuntun kami untuk duduk di tempat akad, bersebelahan dengan suamiku. Setelah kami menandatangi buku nikah dan ditunjukkan mahar pernikahan, kami pun dituntun untuk berdiri untuk melakukan sesi foto akad: mencium punggung tangan suami, menunjukkan mahar dan buku nikah, memasukkan cincin ke jari manis kananku, lalu berfoto bersama kedua orangtua kami.

***

Sesi akad sejak ba'da Ashar hingga pukul lima sore telah selesai. Kami pun segera berganti pakaian untuk acara resepsi yang dimulai pukul tujuh malam.

Aku masih kikuk dengan pria-yang-saat-ini-disebut-suamiku-sendiri. Kami berganti baju di ruangan yang sama, tapi aku benar-benar belum terbiasa. Namun karena mengejar waktu, mau tidak mau aku harus berusaha cuek dan membiarkan dia satu ruangan denganku.

Resepsi pun berlangsung tertib. Aku terkejut saat melihat antrian tamu yang cukup panjang untuk naik ke atas panggung pelaminan untuk menyalami kami. Tidak kusangka, ternyata banyak sekali tamu yang datang hingga aku, suamiku, orangtuaku, dan mertuaku terus berdiri menyambut kedatangan para tamu yang menyalami kami dengan penuh doa kebaikan.

Mbak Dewi cukup panik ke atas panggung untuk memberitahu mamaku bahwa tamu sudah mencapai 900 orang, padahal baru pukul 8 malam sedangkan resepsi berlangsung hingga pukul 21.30 WIB.

Itulah hari pernikahanku. Semuanya tampak sempurna. Rekan-rekan dan kerabat kami berdatangan dengan penuh senyuman bahagia. Tidak sedikit dari mereka yang meminta foto bersama, hingga Mbak Dewi kelimpungan karena khawatir pengantinnya pingsan.

Aku sangat bahagia di hari itu karena aku menikah dengan seorang pria pilihanku.

Pria itu bernama Dani.

***

Muhammad Hamdani Pratama adalah seorang pria muda yang kukenal sejak dua tahun yang lalu. Kami menjalin silaturahim saat berkecimpung di satu komunitas yang sama. Dia asli orang Bandung. Penampilannya yang khas anak muda kreatif dan penuh ide membuat dia cepat beradaptasi dengan orang-orang di dalam komunitas. Dia pandai berbicara, wawasannya luas, ramah, dan rendah hati. Perawakannya yang kurus tapi bisa dibilang belum setinggi teman-teman pria lainnya membuat dia seperti yang paling muda, padahal dia seumuran dengan yang lain.

Sepantaran denganku juga, hanya berbeda 20 hari. Saat itu aku berusia menuju 24 tahun.

September 2016.

Aku orangnya cuek, pada saat itu. Aku ingin mengenal semua anggota yang bergabung di dalam komunitas perfilman muslim ini. Salah satunya, aku bertanya nama kepada teman-teman pria yang mereka terkesan menjaga jarak dengan tim wanita. Bisa dikatakan 'ikhwan' dan 'akhwat'.

"Namanya siapa?" tanyaku sumringah.

"Hamdani. Panggil aja Dani," jawab pria yang kumaksud itu, setelah kutanya kepada teman-teman pria yang duduk di sebelahnya.

Seringkali aku berbicara dengan Dani perihal ide film pendek yang akan kami garap. Terkadang aku yang menghampiri Dani, terkadang dia yang tiba-tiba menghampiriku. Saat aku berbalik badan setelah berbincang dengannya, beberapa teman wanitaku langsung mengalihkan pandangannya dan menyibukkan kembali dengan tugas mereka masing-masing.

Lama-kelamaan aku mulai menyelidik bahwa mereka mengagumi Dani, karena hanya pria itulah yang paling aktif dan banyak menyumbangkan ide di dalam komunitas ini, juga sebagai pendengar yang baik apabila ada masukan dan saran dari teman-teman. Namun, ia tidak mau menjadi ketua komunitas karena ia takut tidak bisa membagi waktu. Sedang fokus dalam menyelesaikan skripsi, katanya.

Seiring berjalannya waktu, ada satu momen dimana aku semakin sering menghubunginya perihal social network management alias konten desain untuk dipasang di Instagram komunitas kami. Ya, kami ternyata memiliki kesamaan yaitu suka mendesain poster, logo, dan sebagainya. Berawal dari itu, kami menjadi lebih sering berinteraksi mulai dari saat bertemu hingga melalui media online.

Jika boleh kubilang, Dani adalah pria yang hampir sempurna. Selain multitalenta, dia pun luas wawasannya dan pandai memasak. Namun sayangnya, dia lebih mementingkan komunitas dibanding menyelesaikan skripsinya yang terabaikan sehingga jatah hidupnya sebagai mahasiswa tersisa sekitar dua tahun lagi. Sedangkan aku adalah wanita yang mengutamakan pendidikan di atas segalanya. Alhamdulillah aku telah menyelesaikan studi masterku di usia 23 tahun, atas motivasi dari papa.

Sejak bergabung di komunitas ini, kami membentuk sebuah gank yang terdiri dari 12 orang. Enam wanita dan enam pria. Gank ini terbentuk secara natural karena sering berkumpul saat agenda komunitas berjalan hingga memiliki waktu luang yang sama sehingga kami bisa menghabiskan waktu bersama lebih banyak dibanding dengan anggota lainnya. Gank ini dinamakan Endless. Termasuk ada Dani dan diriku.

***

Terlalu sering aku dan Dani diciye-ciyekan oleh Endless. Namun pada saat itu, aku sedang menjalin hubungan dengan seseorang di luar kota. Dani pun, akunya. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak kepikiran untuk menyukai Dani sedikit pun.

Yang kurasakan saat itu hanyalah rasa nyaman ketika dengannya, baik itu saat berbincang langsung perihal project perfilman yang akan kami garap maupun bertukar pesan melalui media sosial tentang hal apapun. Hampir setiap hari kami chatting-an. Dani sudah kuanggap seperti sahabatku sendiri. Namun sejak kehadiran Dani di hidupku, hubunganku dengan seseorang itu menjadi jauh. Entah mengapa.

Hingga pada suatu hari, aku mengalami kecelakaan motor yang membuatku harus menegaskan keputusan hatiku.

***

Keputusan apa hayooooo?

Assalaamu'alaikum, readers!

Thanks banget udah menyimak Rahasia Zafina yang baru awal-awal ini (karena ini belum seberapa alias masih pemanasan, wkwk). Bagi kalian yang sudah menyimak, tulis komentar di kolom komentar tulisan ini yuuuk! Komentar yang membangun sangat penting untuk kehidupan penulisanku di part selanjutnya.

Bocoran nih. Akan ada beberapa part yang akan ada giveaway-nya. Jadi, stay tune terus yaaa di Rahasia Zafina ini. Terima kasih..

Wassalaam.

Terima kasih.

Penulis

Selma N Ramadhiane
@selmaliesya | @rahasiazafina_

Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang