35. Duabelas Hari (terkuak lagi)

1.5K 43 17
                                    

Aku menangis di depan Jeje setibanya di kantor. Jeje hanya terdiam sambil menepuk-nepuk pundakku supaya aku lekas tenang.

"Zaf, aku jadi sedih melihat kamu nangis kayak begini. Nangis kamu ini nggak biasa loh, Zaf. Batin kamu tersiksa banget!"

Sambil terisak-isak, aku mengangkat wajahku menatap Jeje. "Maaf, Je, aku benar-benar butuh menangis. Aku nggak tahu lagi harus kemana. Nggak mungkin aku ke rumah dengan keadaan emosiku kayak begini. Nggak mungkin juga aku ke rumah mertua dan menceritakan semuanya. Maaf ya, Je, ganggu pekerjaanmu."

"Nggak kok, nggak ganggu sama sekali. Bos juga nggak akan ke kantor hari ini, dan kerjaan kita juga masih santai. Jadi kalo kamu mau nangis di sini, nangis saja. Nggak apa-apa. Cuma kamu harus ngasih tahu ke orangtuanya, Zaf. Dia sudah keterlaluan!" serunya terdengar agak marah.

Aku menghapus ingus dan air mataku dengan tisu kering yang Jeje sediakan di depanku.

"Permasalahan seperti ini nggak bisa seenak udelnya dia, Zaf. Aku kenal kamu dan keluargamu. Kalian dari keluarga yang sangat baik. Dani yang nggak tahu diri seperti ini tuh, perlu dikasih pelajaran! Dia nggak boleh main-main dengan pernikahan!" serunya.

Aku tidak bergeming. Aku setuju atas komentarnya.

"Zaf, please sayangi dirimu sendiri. Kalo kamu disiksa batin seperti ini, kamu bakal sakit lahir batin. Cukup dia saja yang sakit jiwa, kamu jangan! Kamu harus menyelamatkan dirimu dulu, Zaf."

Kucoba meredamkan segukan tangisanku.

"Aku tahu ujian di awal pernikahan itu luar biasa, tapi aku nggak nyangka ujianku akan seberat ini."

Aku terdiam sejenak. Air mataku kembali membasahi pipiku.

"Aku nggak tahu apakah aku bakal kuat menerima semuanya ini. Aku merasa aku sudah melakukan yang terbaik, tapi kenapa Allah memberikan ujian sebegininya kepadaku, Je? Apa salahku selama ini? Kenapa aku memiliki seorang suami seperti Dani? Kenapa Dani aslinya seperti itu dan malah begini sikapnya kepadaku?!"

Aku terdiam lagi, mengelap hidungku yang basah.

"Setiap hari aku selalu menyalahkan diriku sendiri kenapa aku harus tahu semua tentang masa lalunya, kenapa aku sampai bisa mengetahui personal space-nya, kenapa aku bisa terjebak dengan segala kebohongannya?! Seandainya aku nggak tahu semuanya, mungkin rumah tangga kita baik-baik saja!" keluhku mulai ngawur.

Aku kembali menangis. Terdengar helaan napas Jeje yang sudah duduk di depanku.

"Zaf, justru seharusnya kamu bersyukur. Usia pernikahan kalian belum terlampau jauh, kamu belum benar-benar 'disentuh' sama suamimu itu, dan kamu belum hamil, lalu Allah membukakan semuanya di saat seperti ini tuh karena Allah sayang banget sama kamu. Kamu itu nggak layak untuk Dani, Zaf! Dia itu sakit jiwa, Zaf!" seru Jeje terdengar sangat kesal dan marah.

"Tapi sekarang dia ditakdirkan sudah menjadi suamiku, Je," sanggahku.

Jeje mengangguk.

"Iya, aku paham. Tapi aku lihat dari sisi lain, ini tuh cara Allah supaya kamu benar-benar melek bahwa Dani itu nggak baik buat kamu, Zaf. Lelaki yang di depan orang-orang terlihat santun, alim, soleh, tapi ternyata brengsek banget! Kalo pun dia berubah, bukan kamu yang bertugas mengubahnya. Tapi dirinya sendiri yang harus sadar bahwa dia itu salah dan mengubah dirinya sendiri. Kamu hanya sebagai hidayah dari Allah buat dia. Sorry to say, Zaf, tapi aku perlu ngomong ini. Dia goblok banget kalo nanti makin nggak berakhlak sama kamu setelah ini."

"Tapi aku berharap dia segera berubah dan menjemputku ke rumah sebelum kedua orangtuaku pulang, Je," ucapku pasrah. "Aku nggak mau mereka tahu tentang hal ini."

Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang