17. Demi Perasaanku

1.3K 39 15
                                    

Untuk hari ini, aku hanya merasa badanku terlalu lemas. Sangat terasa beban fisik maupun mental menghantam diriku dalam waktu yang bersamaan.

Baru tiba di Bandung, aku bertemu dengan Dani. Ternyata pria itu meminta untuk memundurkan tanggal pernikahan atau lebih parahnya ia bisa saja tidak hadir di hari pernikahan alias kabur hanya karena ia traumanya terhadap pernikahan.

Setelah aku memberikan motivasi kepadanya dan menyadarkannya bahwa ia tidak sendiri alias masih ada aku di sampingnya, aku meminta untuk pulang. Aku hanya diantarkan olehnya sampai lapangan Gasibu. SIM C nya tidak aktif. Ia takut kena razia jika mengantarkan ke rumahku.

Aku memakluminya. Aku juga tidak mau ia bermasalah dengan kepolisian karenaku.

Akhirnya aku naik angkot menuju rumahku.

Sesampainya di depan rumah, aku menggedor pintu. Awalnya pelan, tapi lama-lama kugedor dengan keras. Aku mencoba menelepon mamaku. Telepon rumah dan handphone-nya sudah kuhubungi. Tidak diangkat.

Kucoba mengetuk pintu berkali-kali lagi dengan sisa tenagaku. Tidak ada satupun yang menyahut dari dalam.

Ada apa ini?

Tiba-tiba muncul perasaan takut pada diriku. Aku takut terjadi apa-apa dengan mamaku karena adik bungsuku sedang keluar rumah.

Tanpa kusadari, aku menangis. Air mataku sudah membasahi pipi. Aku terduduk lemas di kursi teras rumah. Amarahku tak bisa kubendung lagi.

Aku menangis terisak. Dadaku sangat sesak. Tak lama kemudian, mama membuka pintu dengan mukena yang masih dikenakannya.

Mama melihatku, lalu mulai panik.

***

Isakan tangis mama yang kupeluk erat-erat membuat tangisanku semakin menjadi. Pelukan hangat mama membuat emosiku semakin membuncah. Berkali-kali aku mencoba menahan tangisan ini, tapi tidak bisa.

Ternyata tadi di hadapan Dani, aku pura-pura kuat.

Kurenggangkan pelukan mama. Aku menarik diri, lalu kutatap wajah mama yang memerah dengan air mata yang berlinang di pipinya. Wanita yang paling kucintai ini menangis karenaku.

Seharusnya aku bisa menahan diri untuk tidak menangis. Seharusnya aku tidak menceritakan apapun yang Dani katakan. Seharusnya aku tidak mengadu. Seharusnya aku membiarkan diriku tetap terlihat baik-baik saja di hadapan mama.

Namun ternyata aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak bisa berbohong dengan perasaanku sendiri.

Aku kecewa.

"Kenapa sih, Dani nggak bilang dari awal kalo dia punya trauma pernikahan? Kan bisa di terapi dulu, bisa diobrolin baik-baik dulu, bisa diobatin dulu," ucap mamaku sambil menghapus air mata di pipinya.

Dengan tangisanku yang masih terisak dan dada yang masih terasa sesak, aku menjawab, "Zafina juga nggak tahu, Ma. Zafina cuma tahu ayahnya galak ke dia. Zafina cuma tahu dia benci dengan ayahnya. Tapi yang Zafina rasakan, ayahnya baik kok ke adik-adiknya, juga ke ibunya, juga ke Zafina sendiri."

"Dani tahu kalo semua persiapan udah hampir seratus persen?" tanya mamaku yang kujawab hanya dengan anggukan.

Mama menghela napas, lalu menghapus air matanya. "Bilang ke Dani, kalo memang nggak sanggup untuk meneruskan, temui dan ngobrol dengan papa. Bicara yang baik-baik. Semua ada solusinya. Bukan begini caranya. Malah menyakiti anak mama."

Aku hanya bisa mengangguk. Tangisanku kembali menjadi.

Ini kali pertamanya aku menangis di hadapan mama setelah aku tumbuh dewasa.

Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang