17 April 2019
Sekitar pukul tiga pagi, kutinggalkan suamiku yang sudah terlelap dalam tidurnya.
Hari ini, pemilihan umum lima tahun sekali akan dilaksanakan. Sebagai warga negara yang patuh, aku harus turut memilih pemimpin yang baru untuk negara ini sesuai dengan status tempat asalku di Kartu Tanda Penduduk, yaitu Kuningan. Sejak tinggal di Bandung, aku belum sempat mengurus KTP baruku. Alhasil statusku masih menjadi penduduk warga Kuningan, Jawa Barat.
Setelah adik dan mamaku tiba di depan lobi apartemen, aku bergegas turun dari kamar tanpa membangunkan suamiku. Aku tak tega membangunkannya karena ia baru tertidur dua jam yang lalu. Walaupun begitu, suamiku sudah mengetahui dan mengijinkanku untuk melakukan perjalanan pergi-pulang di satu hari ini.
Rencananya, pagi ini ia akan kembali ke rumahnya untuk menyoblos. Ia akan kembali ke apartemen setelahnya, lalu bertemu dengan Galih untuk membicarakan rencana bisnis barunya.
Awalnya, aku merasa berat meninggalkan suamiku seharian ini. Ada perasaan takut dibohongi dan dikhianati kepercayaanku lagi setelah tempo hari aku meninggalkannya ke Palembang. Tanpa kusadari, kejadian itu membuatku menjadi insecure.
Terlebih sebelumnya ada kejadian tidak mengenakkan saat Galih mampir dan masuk ke dalam kamar kami beberapa hari yang lalu.
Waktu itu, ia mengantar suamiku ke kamar sekalian mengambil sesuatu. Aku yang 'kemarinnya' baru pulang dari Palembang langsung mempersilakan Galih untuk menyicip pempek yang kubawa dari kota tersebut. Kuanggap pemuda yang satu tahun lebih tua dariku itu sebagai tamu kami.
Di saat itu aku telah mengetahui bahwa suamiku berbohong perihal Alan yang menginap di kamar ketika aku berada di Palembang dan segala percakapan 'mesra' yang kutemui diantara mereka. Hingga akhirnya berpengaruh terhadap sikapku yang sangat insecure kepada suamiku sendiri.
Hari itu, aku sengaja mempersilakan Galih masuk ke kamar kami untuk mengetes sikap suamiku terhadap temannya, karena sikapnya padaku menjadi kurang bersahabat setelah aku berpura-pura mengaku mimpi buruk tempo hari itu.
Ternyata sikapnya terhadap Galih sangat ramah. Bahkan ia memasakkan pempek untuk temannya itu, lalu mengajaknya solat berjamaah di kamar yang sempit ini.
Seketika aku merasa tersinggung. Selama menikah, aku tidak pernah diajak solat berjamaah oleh suamiku.
Sedih, bukan?
"Kamu orang pertama loh, yang diajakin solat berjamaah di kamar ini," celetukku.
Spontan Galih menatapku bingung, lalu menoleh ke Dani yang menatapnya.
"Seriusan?" tanya Galih tidak percaya.
Aku mengangguk. "Iya."
"Gimana sih, bapak yang satu ini? Masa jadi kepala rumah tangga nggak pernah ngajak istrinya berjamaah? Wah... Bapak ini," ujar Galih terlihat canggung.
Aku hanya diam menanggapinya. Ada perasaan puas sekaligus tidak nyaman setelah mengatakan hal tersebut. Di satu sisi, aku merasa tidak adil diperlakukan seperti ini. Di sisi lain, aku menjadi kasihan terhadap suamiku sendiri.
Memang itu kenyataannya.
Setelah itu, perasaanku kembali tidak nyaman ketika mengetahui bahwa Galih akan menjadi partner bisnisnya. Bukan karena tidak percaya pada Galih, tapi aku tidak percaya pada suamiku sendiri.
Kejadian aku dibohongi dan tidak ada pengakuan bersalah telah membohongiku perihal Alan menginap di kamar apartemen ini membuat kepercayaanku terhadap Dani terkikis secara perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]
Romans"Menikah denganmu adalah hal terindah di dalam hidupku. Namun ternyata.. aku tidak mengenalmu," ucap Zafina. Istri Hamdani itu menutup laptopnya. Air matanya menetes. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini, tapi sa...