37. Duabelas Hari (psikolog)

1.5K 39 10
                                    

"Ayo, Zaf, ke sini! Silaturahim sekalian reunian. Aku sama Vivi nungguin kamu nih!" seru Alya terdengar sangat riang di dalam telepon.

Aku sangat berusaha seceria mungkin mendengar ajakan salah satu sahabatku itu. "Pengen, tapi... Aku kabarin sesegera mungkin ya. Nggak apa-apa?"

"Okay, ditunggu yaa. Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaaikumussalaam warohmatulloh," jawabku sambil menutup panggilan dari Alya.

Aku menghela napas panjang.

Barusan Alya meneleponku. Mendengar aku diajak silaturahim sekaligus buka bersama dengan rekan-rekan proyek di bawah naungan Kang Alfa, membuatku sangat ingin beranjak pergi ke sana sesegera mungkin. Aku butuh bertemu dengan teman-teman. Aku ingin refreshing sejenak dari keseharianku karena batinku tersiksa oleh suamiku sendiri.

Jika aku hanya memikirkan kesenanganku saja, mungkin aku sudah mulai berdandan dan pergi ke acara itu. Sekarang aku sudah berganti pakaian dan mengendarai motorku untuk menjumpai mereka di sana. Mungkin dapat kulupakan dan kuhempaskan sejenak perasaan sedihku ini.

Namun aku tak boleh begitu. Siapa yang tahu setelah sampainya aku di sana, mereka menanyakan mengapa tidak bersama suami dan sebagainya. Pertanyaan itu yang kutakutkan menjadi hal yang sia-sia saat diri ini datang ke sana.

Aku harus selesai dengan masalah rumah tanggaku dulu, baru aku bisa bertemu dengan teman-temanku. Aku tidak mau mereka tahu bahwa rumah tangga kami sedang kacau. Aku tidak mau mereka menduga yang tidak-tidak tentang apa yang telah mereka prediksikan setelah kuyakini Dani-lah yang akan menjadi suamiku.

Karena mereka adalah teman-temanku yang tidak merekomendasikan Dani sebagai pendamping hidupku.

Sekali lagi, kuhela napasku.

Dengan pertimbangan seperti itu, terpaksa kuurungkan niatku untuk membersamai mereka hari ini.

Padahal aku sangat menyukai berkumpul dengan teman-teman sebagai ajang silaturahim, padahal aku sangat penat dan butuh berinteraksi langsung dengan teman-temanku, tapi aku harus mengalahkan egoku itu.

Alya, maaf. Sepertinya aku tidak bisa bergabung. Lagi kurang enak badan, jadi sampaikan saja salamku kepada teman-teman di sana ya?

Tak lama kemudian, Alya membalas chat-ku.

Iya, nggak apa-apa. Syafakillah ya.. Tetap semangat! We missed you so much!

Aku tersenyum pasrah saat membaca balasannya.

Jika bukan karena sikapmu, mungkin aku tidak akan tersiksa seperti ini, Dan.

***

Zaf, sekarang Aa lagi ada di rumah. Tapi Ibu tidak berani bilang apa-apa ke Aa. Ibu takut Aa malah pergi kalo Ibu nanya-nanya tentang Zafina. Pelan-pelan ya, Zaf. Aa ke sini katanya mau fokus gambar desain baju buat bisnisnya.

Hatiku mencelos membaca chat dari Ibu. Di satu sisi, aku bersyukur. Di sisi lain, aku merasakan kesedihan yang amat dalam.

Dani begitu tega mengabaikanku.

Nggak apa-apa, Bu. Biarkan dia di rumah Ibu. Sebisa mungkin dia menginap di rumah ya, Bu. Aku mohon.

Aku lebih tenang jika suamiku berada di dekat ibunya. Ia lebih terkontrol dalam bersikap daripada harus menyendiri di apartemen dimana aku tidak tahu ia sendiri di sana atau bisa jadi dengan 'yang lain'. Aku tidak berburuk sangka terhadap suamiku sendiri, tapi aku hanya belajar dari pengalamanku saat aku ke Palembang dan ternyata ia bersama Alan di kamar apartemenku sebelumnya.

Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang