"Yang, hari ini tanggal penagihan cicilan iPhone Ayang yang kedua. Uangnya ada?"
"Oh iya ya?"
"Iya, kemarin dari perusahaannya sudah meneleponku," jawabku memberitahu.
"Okay. Uangnya ada kok."
Aku menghela napas lega.
Sejak sebulan yang lalu, suamiku bersikeras ingin memiliki iPhone 7 setelah ia merasa tidak nyaman dengan iPhone 6s yang sedang digunakannya saat itu.
Awalnya, ia ingin iPhone 7 itu berguna untuk mendokumentasikan honeymoon kami di Saudi Arabia dan Mesir. Namun alasan lainnya adalah agar dapat meyakinkan kliennya, karena suamiku bekerja sebagai salah satu agen marketing properti di Bandung.
Saat kami berjalan-jalan di salah satu mall serba gadget di Bandung, suamiku semakin tergiur pada handphone tersebut. Ada tawaran kepada kami dari salah satu perusahaan pembiayaan multiguna multinasional di Indonesia. Dari matanya, tersirat hasrat yang tinggi untuk memiliki iPhone tersebut. Namun ia belum memiliki uang sebanyak itu untuk membelinya.
Suamiku masih tergoda dengan fasilitas dari perusahaan tersebut. Ia merasa dirinya sanggup untuk membayar tiap bulan. Sayangnya ia tidak memiliki KTP asli sebagai salah satu syarat mendaftar cicilan tersebut. Alhasil, KTP dan nomor handphone-ku lah yang dipakai.
Di satu sisi, aku tidak mau identitasku digunakan untuk mendaftar cicilan tersebut, karena aku tidak tahu apakah di kemudian hari kami bisa membayarnya atau tidak. Di sisi lain, aku kasihan terhadap suamiku yang belum mendapatkan banyak klien selama ia bekerja. Selain itu, mungkin perjalanan honeymoon kami kelak akan terdokumentasikan dengan baik jika menggunakan iPhone 7 yang diinginkannya.
Syarat lainnya adalah nominal gaji yang mumpuni untuk melunasi cicilan tiap bulan. Dengan pertimbangan dari jumlah gajiku dan gajinya, suamiku memutuskan untuk mengambil cicilan selama enam bulan. Sekitar tujuh ratus ribu rupiah per bulannya. Ia pun menyanggupinya dengan sangat yakin.
Dengan ia meyakinkanku seperti itu, aku pun menyerahkan identitasku.
Begitulah kronologi cicilan iPhone 7 yang saat ini menjadi alat komunikasi utamanya.
***
Hari ini adalah hari kepindahan kami ke apartemen baru di Gateway Pasteur.
Singkat cerita, salah satu rekan jamaah umroh kami menawarkan kamar apartemennya untuk disewakan kepada kami.
Lokasi yang cukup elit dengan dua kamar tidur dan jauh lebih luas dari kamar apartemen kami sebelumnya ini membuatku dan suamiku ingin sekali tinggal di sana. Namun biayanya tidak terjangkau oleh kami.
Suamiku kembali mengungkit penawaran teman kerjanya yang ingin membeli emas maharku senilai 20 gram. Ia memberikan ide untuk menjual emas tersebut agar sebagian uangnya bisa dipakai untuk menyewa kamar di Gateway Pasteur. Sebagian lainnya akan ia gunakan untuk memulai bisnis baju batiknya serta memenuhi kebutuhan belanja bulanan kami.
Aku berpikir keras untuk menjual 20 gram emas tersebut hanya untuk alasan itu.
Lingkungan apartemennya memang elit dan nyaman. Namun ada alasan lain yang membuatku sedikit berat untuk memutuskan.
Selain karena semakin jauh dari lokasi tempat kerjaku, suamiku pun juga akan lebih bebas bisa tidur di ruang mana saja jika kita sedang bertengkar.
Selama kurang lebih tiga bulan kami menjalani pernikahan ini saja, aku sudah bisa menghitung berapa kali aku memaksanya untuk tidur satu ranjang denganku jika kami sedang bertengkar. Ia selalu sengaja menidurkan dirinya di karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]
Romance"Menikah denganmu adalah hal terindah di dalam hidupku. Namun ternyata.. aku tidak mengenalmu," ucap Zafina. Istri Hamdani itu menutup laptopnya. Air matanya menetes. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini, tapi sa...