"Aku nggak mau nunda, ya..."
Mendengar pernyataan tersebut dari mulut Dani yang tiba-tiba, aku spontan bingung menatapnya. Ia baru duduk lima menit di hadapanku. Sedetik kemudian, aku baru mengerti apa yang ia maksud. Aku mengangguk cepat sambil nyengir kuda, lalu kembali fokus pada laptopku.
"Kamu mau makan apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku gugup menanggapi pernyataannya itu.
Saat ini, aku dan Dani sedang makan siang di salah satu kafe hits anak muda di tengah kota. Rumahku yang di timur dan rumahnya di kawasan barat membuat kami harus bertemu di tengah kota.
"Aku mau dessert saja, tadi sudah makan di rumah," jawabnya sambil mengambil Macbook dari dalam ranselnya.
Sambil membuka Macbook-nya itu, Dani berkata, "Untuk list apa-apa saja yang harus kita persiapkan, aku buatkan google spreadsheet saja, gimana? Jadi nanti kalo ada diantara kita yang kurang ini-itu, bisa ditulis di sana. Terus kita jadi tahu apa yang sudah kita lakukan dan yang harus segera dikerjakan. How?"
Aku setuju dengan idenya. Dani memang selalu memiliki sejuta ide untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.
Kami fokus pada laptop masing-masing. Dani sudah membuatkan google spreadsheet yang dikaitkan dengan gmail-ku.
Satu persatu kami mulai list apa saja yang perlu kami atur dan kerjakan. Mulai dari browsing jenis vendor pernikahan, person in charge yang kita amanahkan untuk bertugas di tiap vendor, hingga prediksi anggaran keuangan pernikahan.
Tempat pernikahan adalah hal terpenting yang harus diputuskan saat ini. Walaupun aku asli orang Kuningan, tetapi cita-citaku adalah menikah di Bandung. Teman-temanku juga banyaknya di Bandung. Jadi aku memutuskan untuk menikah -dengan siapapun- di Bandung.
Rumahku tidak memungkinkan untuk diselenggarakannya acara besar-besaran seperti pernikahan. Rumahku tepat di depan jalan umum dimana banyak dilalui oleh kendaraan bermotor. Tidak mungkin aku mendzolimi orang lain hanya karena keegoisanku.
Alhasil aku ingin tempat pernikahanku di sebuah gedung yang mudah dicapai oleh para undangan
Salah satu impian Dani adalah menikah di malam hari dengan konsep outdoor. Ia ingin suasana pernikahannya sejuk, remang-remang, dan deep interaction. Sedangkan aku tidak neko-neko perihal konsep pernikahan. Aku hanya ingin para tamu yang diundang datang dan pulang dengan kebahagian di hari pernikahanku.
Inilah tantangan pertama dalam mempersiapkan pernikahan. Menyatukan impian dua kepala yang memiliki cita-cita masing-masing agar dapat diwujudkan menjadi nyata.
Bahkan tidak hanya dua kepala, tapi juga kepala orangtua kami yang turut campur.
Dani sudah mempersiapkan nuansa pernikahannya sendiri. Ia ingin semuanya serba hijau toska dan abu-abu, karena ia sangat menyukai warna tersebut. Aku, si penyuka warna biru safir, tidak masalah dengan warna apapun yang ada di pernikahan nanti. Jadi aku hanya menuruti keinginan Dani.
Yang penting sah, itu tujuan utamaku.
Niatku pun sekalian aku belajar menuruti apa kemauan calon suamiku itu selama semuanya tidak melanggar batas syari'at. Itu prinsipku ketika sudah berkomitmen dengan seseorang.
Selama merancang konsep pernikahan, Dani sangat antusias. Ia yang paling antusias daripada aku. Banyak sekali konsep-konsep yang ia sampaikan kepadaku. Mulai dari akad hingga resepsi pernikahan. Awalnya ia ingin pernikahan ini bersifat private wedding. Selain lebih murah, pengantin juga jadi lebih dekat dengan para tamu undangan.
Akan tetapi, keluargaku dan keluarganya sangat besar. Apalagi kolega dari papaku sangat luas. Aku adalah anak pertama yang akan menikah, jadi pasti antusiasme kolega papaku sangat luar biasa. Dani juga merupakan anak sulung dan cucu pertama di keluarganya. Antusiasmenya pasti akan sama. Alhasil rencana private wedding hanyalah sekedar wacana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]
Romansa"Menikah denganmu adalah hal terindah di dalam hidupku. Namun ternyata.. aku tidak mengenalmu," ucap Zafina. Istri Hamdani itu menutup laptopnya. Air matanya menetes. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini, tapi sa...