Kembalinya kami dalam satu atap di rumah mertuaku belum membuat kami membaik seperti sediakala. Dani masih sering lebih menyendiri ketimbang berdua bersamaku.
Seperti hari ini. Ketika aku berada di kamarnya, ia lebih memilih menyendiri di ruang tamu. Aku terus berusaha mengontrol pikiran negatifku dengan dalih bersyukur karena sudah satu atap bersama suamiku kembali.
***
Ternyata benar, kunci apartemen yang dipegang oleh Toni saat sahur tadi telah dititipkan kepada A Abi. Sebelum ke apartemen untuk mengeluarkan semua barang, suamiku menyetir mobil milik tantenya menuju depan gang kosannya A Abi yang terletak di Jalan Padjajaran.
A Abi sudah terlihat berdiri bersandar sambil bermain handphone saat suamiku menepikan mobil di depannya. Aku hanya menerima kunci kamar apartemen darinya, lalu tersenyum hambar padanya.
Hatiku masih terasa sakit ketika mengetahui bahwa ternyata suamiku menitipkan apartemen bahkan kuncinya kepada orang lain, sedangkan selama dua minggu kemarin aku ditelantarkan begitu saja.
Ditambah lagi penilaianku terhadap A Abi semakin tidak respect karena ia juga termasuk kaum LGBT, entah gay pride, hidden gay, atau biseksual. Aku sudah tak mau peduli.
Aku benar-benar mulai membenci perilaku kaum seperti itu.
***
Sekitar dua jam kemudian, barang-barang telah kami keluarkan. Di basement parkir mobil, tiba-tiba Dani meringkik kesakitan sambil memegang pinggang kanannya. Kami panik dan berusaha untuk menawarkan bantuan, termasuk aku yang menawarkan diri untuk menggantikannya menyetir mobil tantenya.
Namun Dani tidak menggubris penawaranku. Ia bersikeras sanggup untuk menyetir menuju rumah setelah ibu meminta padanya agar aku saja yang membawa mobil tersebut.
Ia masih marah padaku.
Tiba-tiba ada panggilan telepon kepada Ibu yang menyatakan bahwa ibu mertuanya alias neneknya Dani masuk ke IGD di Rumah Sakit Santo Borromeus. Perjalanan yang seharusnya menuju rumah mertua, beralih menuju rumah sakit tersebut.
Mamaku langsung inisiatif untuk ikut bersama mereka. Aku pun setuju. Mungkin ini kesempatanku untuk merawat suamiku yang sedang terkena sakit pinggang. Sedangkan Anjar memutuskan untuk tetap tinggal di mobil setelah kami sampai di basement parkir mobil rumah sakit.
Sejak turun dari mobil, Dani masih meringkik kesakitan. Kurangkul lengan dan punggungnya agar ia terbantu untuk berjalan secara perlahan. Ibu tersenyum dan mulai melepaskan tangannya ketika aku memberi isyarat bahwa aku ingin membantunya berjalan sepanjang koridor rumah sakit.
Hatiku mulai terasa bahagia saat Dani membiarkan tanganku membantunya berjalan. Walaupun ia tidak mengajakku berbicara, tetapi aku sangat menyadari bahwa ia sedang berusaha menurunkan ego diamnya terhadapku. Oleh karena itu, aku juga diam sambil menemaninya berjalan di sampingnya.
Setelah kami menjenguk neneknya, ibu mengajakku dan mama untuk bertemu dengan saudara-saudaranya yang sedang menunggu di ruang tunggu. Mama pun mengiyakan. Katanya sekalian silaturrohim.
Setelah bertegur sapa dengan keluarga besar ayah, aku duduk di samping Dani yang duduk tepat di belakang kedua orangtuanya. Perhatian mereka terpusat kepada Dani yang masih meringkik kesakitan sambil memegang pinggangnya.
"Aku belikan counterpain dulu ya?" tawarku pada Dani.
Dani mengangguk mengiyakan.
"Bu, Zafina mau ke apotek. Mau beli counterpain dulu buat Aa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]
Romance"Menikah denganmu adalah hal terindah di dalam hidupku. Namun ternyata.. aku tidak mengenalmu," ucap Zafina. Istri Hamdani itu menutup laptopnya. Air matanya menetes. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia hanya ingin terbangun dari mimpi buruk ini, tapi sa...