22. Counting Days

1.3K 39 8
                                    

"Kamu yakin mau ambil tawaran teman kamu itu di Jepang?"

Dani baru bercerita tentang tawaran pekerjaan dari temannya -namanya Rangga- yang sedang menetap di Jepang. Ia sangat menginginkan itu walaupun hanya satu bulan lamanya.

Itu berarti selama Januari 2020 Dani benar-benar menyerahkan segala urusan pernikahan kepadaku. Jujur, membayanginya saja aku berat.

"Lumayan, kan? Buat nambah-nambah tabungan pernikahan. Buat bayar hutangku padamu juga, Zaf. Cuma sebulan kok," katanya.

Aku menghela napas, sambil mengaduk-aduk es jerukku di atas meja. "Harus, ya? Kalo boleh jujur, aku keberatan."

"Kenapa?" tanyanya sambil menatapku.

"Sekarang Desember pertengahan, sedangkan kamu dari kemarin terlalu sering menunda persiapan pernikahan. Pada akhirnya semua harus ngebut ke sana kemari, sedangkan aku bekerja saat weekday. Jadi weekend itu penting banget sekarang, tapi cuma bisa dihitung jari menuju Februari 2019. Terus misalkan kamu di Jepang selama bulan depan, kamu tega ninggalin aku rempong sendirian di sini? Setega itu kamu sama aku, Dan?" tanyaku dengan mata nanar.

"Bukan gitu maksudku, Zaf..."

"Iya, aku paham," tukasku menyanggah. "Bulan kemarin kamu sibuk kerja mengajar olimpiade sama Kang Sahid, alasannya untuk melunasi hutangku. Tapi mana? Terus dua hari kemarin kamu sudah menjual Macbook-mu supaya kamu bisa mulai berobat ke Carolus, tapi uangnya dipinjam ibumu dan sisanya malah kamu pakai untuk ganti handphone. Terus sekarang kamu mau ke Jepang dengan tujuan uangnya untuk membayar hutangmu padaku? Huh..."

Aku menggelengkan kepala sambil melipat tangan di dada. "Please, Dan. Terlalu banyak excuse yang udah kamu lakuin. Mama papaku sampai nanya kapan Dani ke rumah, seenggaknya silaturahim sebentar saja. Aku bersyukur kemarin kamu ke rumah setelah pulang dari Gasibu, tapi yang ada kita malah berantem gara-gara kamu berbohong sama aku."

"Aku nggak ada niat untuk bohongin kamu, Zaf. Aku cuma nggak mau kamu cemburu," ucap Dani membela diri.

"Tapi pada akhirnya sama saja aku tetap cemburu. Bahkan aku lebih marah karena kamu berbohong padaku!" seruku

Aku menghela napas.

"Kamu bilang kamu sendirian ke Gasibu, ternyata kamu boncengan sama Isna temanmu itu dari Dipatiukur. Kamu bilang kamu udah di Gasibu sendirian, ternyata udah sama Isna di sana. Akhirnya apa? Setelah aku tahu, aku jadi jutekin teman-teman kamu. Jujur, aku jadi nggak enak sama mereka. Aku kesal sama kamu yang berbohong, tapi dampaknya malah ke semuanya. Sebenarnya kamu paham nggak sih, maksud aku kenapa aku jadi jutek dan marah waktu itu?!" tanyaku marah. Napasku semakin memburu. Pelan-pelan aku mencoba mengendalikannya.

Dani menganggukkan kepalanya. "Aku paham, aku minta maaf. Nggak semestinya kemarin aku berbohong. Aku cuma ingin membantu Isna yang minta nebeng ke aku, sekalian lewat."

"Ya tapi aku nggak suka kalo dibohongi!"

"Okay, aku janji aku nggak akan bohong lagi."

Aku mendengus kesal. Mataku menatap ke arah yang lain.

"Aku juga nggak akan ambil tawaran ke Jepang deh. Aku benar-benar akan fokus ke pernikahan kita," katanya merayu.

Keputusannya yang tiba-tiba membuatku tercengang.

"Dengar ya, Dan. Aku bukan ingin menghalangi rejeki kamu untuk ke Jepang. Bukan. Tapi cobalah berpikir panjang. Kalo kamu ke Jepang, kamu perlu adaptasi dulu. Nambah beban hidupmu di sana, tapi urusan pernikahan kamu tinggalkan begitu saja. Coba kita sama-sama belajar menyelesaikan urusan itu satu-persatu," ujarku mencoba untuk berbicara lembut, walaupun masih kesal padanya.

Rahasia Zafina - true story [PROSES DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang