"Akhirnya, selesai!" Shani menggeliat sesaat lalu melepaskan kacamatanya, "Mama nanti sampe jam berapa, Ko?" Shani bertanya pada Henri yang sedang fokus dengan laptopnya.
"Jam tujuh nanti," Henri melihat jam di layar ponselnya, "Nanti jam lima lebih kita berangkat, ya, Dek? Koko mau ketemu orang bentar."
Shani mengangguk, ia kemudian mematikan laptopnya setelah berhasil menyelesaikan drama kesukaannya. Gadis itu kemudian berlalu ke dalam kamarnya, mengambil ponsel miliknya yang sengaja ia tinggal di kamar agar dapat fokus menonton.
Ada banyak notifikasi masuk setelah Shani menghidupkan ponselnya, dari Feni, Dyo, Mamanya dan.. Gracio?
Dahi Shani berkerut saat melihat lagi-lagi bocah itu mengiriminya pesan. Sudah hampir satu minggu Gracio terus mengirim pesan untuknya, terkadang hanya mengirim stiker atau menelepon Shani saat tengah malam, random abis pokoknya. Semua pesan Gracio sebenarnya selalu Shani jawab, tapi masih dalam batas wajar. Gracio itu seperti adik untuk Shani, karena umur Gracio dan Krishna—adiknya—sama.
Shani memilih mengabaikan pesan dari Gracio, dan teman-temannya. Ia membuka kolom chatnya dengan Vino. Berbicara mengenai Vino, ini sudah hampir satu minggu setelah Vino menyatakan perasaannya dan juga setelah Vino mencuri ciuman di bibirnya.
Ciuman pertamanya!
Shani memejamkan matanya erat jika teringat kejadian itu, pipinya akan langsung memerah saat teringat bibir Vino yang mendarat di bibirnya dengan lembut. Shani belum menceritakan ini pada siapa pun, termasuk Henri. Shani yakin jika ia menceritakan ini pada Henri ia akan diledek habis-habisan.
Shani menghela napasnya panjang setelah menyadari pesan yang ia kirim sejak pagi tadi belum juga mendapat balasan dari Vino. Ibu jarinya nyaris menekan ikon telepon di layar ponselnya, sebelum ia mengurungkan niatnya, gengsi.
Gengsi seorang Shani Indira memang tidak ada yang bisa mengalahkan. Ingin menelepon malu dan gengsi, tidak melepon Shani rindu.
"Dek, siap-siap sana. Kamu kan kalau mandi lama banget, ritualnya banyak. Koko curiga kamu semedi di dalam kamar mandi, ya?" Teriak Henri membuat Shani memutar bola matanya malas.
Sementara itu Vino dan Nabil sedang dibuat pusing dengan seabrek tugas yang mereka miliki. Vino dengan tenang mengerjakan tugas-tugasnya sementara Nabil sibuk mendumel dan sambat pada laptop di depannya. Mulutnya tak berhenti mengomel dan mengunyah keripik yang ada di samping laptopnya.
"Mamaaaa!! Nabil mau nikah aja boleh nggak, sih?!" teriak Nabil frustasi sambil mengacak rambutnya yang ia biarkan memanjang.
Teriakan Nabil membuat fokus Vino teralihkan, lelaki yang memakai kaus bergambar pokemon itu merenggangkan ototnya, melepaskan kacamata dan mengucek matanya yang memerah.
"Mau nikah aja gue, nggak mau kuliah, asli!"
Tangan Vino terjulur menoyor kepala Nabil setelah ia berdiri di samping temannya, tangannya bergerak mengambil keripik milik Nabil lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Nikah, nikah. Lo kira nikah gampang?"
"Iyalah, akad nikah, honeymoon, punya baby, bahagia sampai kakek nenek. Simpel, kan?" Nabil mendongak menatap Vino, "Aduh! Sakit, bego!" Vino memukul lengan Vino yang baru saja menjitak kepalanya.
"Nikah tuh nggak tentang lo sama pasangan lo doang, tapi juga keluarga lo dan pasangan lo. Lagian orang tua mana yang mau nyerahin anaknya ke cowok yang nggak berpenghasilan dan pecicilan kayak lo?" kata Vino dengan tatapan tajamnya, "Buat menjalin hubungan yang semacam pacaran aja banyak orang yang masih takut, apalagi nikah yang berkomitmen seumur hidup sama pasangan lo dan dalam keadaan apapun. Nah ini, lo dengan entengnya bilang mau nikah. Tebelin dulu dompet, sama dewasain dulu pemikiran lo." Tukas Vino kemudian duduk di sofa.