20

2.2K 154 86
                                    

Liburan Shani sudah berakhir sejak satu minggu yang lalu. Gadis penyuka kue putu itu kini sudah kembali memasuki semester baru yang membuatnya semakin sibuk.

Tentang pertemuan terakhirnya dengan Vino saat di Jogja. Shani sepertinya memilih mundur sebelum berperang. Iya, dia memilih untuk merelakan Vino. Jika lelaki itu saja sudah melepaskannya, lalu untuk apa ia susah payah berjuang dan berusaha mengembalikan semuanya seperti dahulu? Untuk apa jika hanya dirinya yang berharap dan tak ingin berpisah.

Beberapa kali Vino mengirim pesan padanya setelah kejadian sore itu. Setelah berbulan-bulan mengabaikan semua pesan yang Shani selalu kirimkan, akhirnya lelaki itu mengirim pesan padanya lebih dulu. Jika hal itu terjadi sebelum Vino mengatakan padanya jika waktu mereka berdua sudah habis dan sudah lewat, mungkin Shani akan berteriak senang sambil melompat atau berguling di atas kasurnya.

Tapi, yang Shani lakukan ketika membaca pesan dari Vino hanya menghela napasnya lelah kemudian membalas pesan itu secukupnya.

Shani memang belum pernah bertemu dengan Vino lagi seelah itu. Di kampus, di cafe atau dimana pun tempat mereka berdua biasa bertemu. Shani juga sudah tidak merengek pada Feni untuk memintanya mengantar ke fakultas Vino demi bisa melihat laki-laki itu secara diam-diam.

Menghela napas panjang, gadis dengan kemeja hitam, celana jeans dan sepatu converse putih itu mengayunkan tungkainya keluar dari gedung fakultasnya.

"Shani."

Gadis itu menggeleng. Apa level halu seorang Shani sekarang sudah melebihi level halu Sisca si sahabat Feni yang dari jurusan seni itu? Sampai-sampai ia bisa mendegar Vino sedang memanggilnya.

Kepalanya kembali menggeleng kuat ketika indera penciumannya berhasil menghirup aroma yang sangat Vino banget, kalau kata Shani.

"Shan,"

Tepukan di bahu serta suara itu membuat Shani menoleh dan bingung harus bereaksi seperti apa setelah menyadari jika panggilan tadi, aroma tubuh tadi, serta seseorang yang sedang berdiri di sampingnya ini bukan halusinasi. Tapi, nyata. Iya, Vino sedang berdiri di sampingnya masih dengan tas punggung yang sangat ia ketahui berisi berbagai macam peralatan perang Vino dan sebuah senyuman yang ia ukir di wajahnya.

"Mau pulang?"

Shani mengangguk.

Otaknya butuh waktu untuk mencerna bagaimana bisa Vino ada di sini, di sampingnya, saat ini.

"Makan dulu, mau?"

Dan sekarang, Vino mengajaknya makan bersama.

Sepertinya telinga Shani sedikit bermasalah setelah kemarin berenang dan kemasukan air.

"Mau nggak?"

Sekali lagi, Vino menepuk pelan bahunya membuat Shani berjengit kaget, tersadar dari lamunannya.

"McD dekat kampus, gimana? Aku lapar banget, cacing-cacing di perutku udah pada demo kayaknya." Seloroh Vino tanpa memperdulikan wajah bingung Shani.

"Vino?"

Alih-alih menjawab, Vino justru menyelipkan jemari tangannya di sela jari-jari Shani yang menganggur.

"Yuk."

Lelaki itu menariknya melangkah menuju mobilnya dan seharusnya Shani menolak ketika Vino seenaknya mengajaknya pergi berdua setelah semua yang terjadi. Tapi, Shani malah menurut. Bahkan, gadis itu kini sudah duduk di bangku samping kemudi mobil Vino dengan lelaki itu yang sedang mengantre untuk memesan makanan karena Vino mengatakan jika ia hendak drive thru saja ketimbang harus makan di dalam dengan banyak orang di jam makan siang ini.

How IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang