Shani terus memandangi ponselnya sejak tiga puluh menit yang lalu. Gadis itu akan buru-buru membuka ponselnya ketika mendengar sebuah notifikasi masuk lalu akan melorotkan bahunya lesu ketika tahu notifikasi itu bukan dari orang yang ia rindu. Begitu terus sejak setengah jam yang lalu.
Henri yang baru saja pulang dari cafe menatap adiknya dengan dahu berkerut. Bagaimana tidak, gadis itu duduk bersila di sofa masih dengan memakai piayama bermotif tsum-tsum, memangku ciki dengan rambut yang dicepol asal serta terus melirik ponselnya yang ada di atas meja.
Handphone berlogo apel keluaran terbaru itu berbunyi dan Shani dengan cepat meraih benda persegi panjang di depannya, senyuman yang tadinya menghiasi wajahnya luntur ketika melihat pesan yang masuk bukan dari vino, melainkan dari..
"Koko ngapain, sih?!" Sungutnya kesal, gadis itu melirik tajam pada pria yang sedang berdiri di depan pintu sambil cengengesan, "udah, puas? Sana tidur di cafe aja, nggak usah ke sini!" Usir Shani seraya melempar ponselnya ke atas meja.
"Dek, kira-kira dong kalau bete. Handphone mahal dibanting-banting, kasih Koko aja sini."
"Yaudah ambil aja, sana-sana!" Shani memilih membawa cikinya masuk ke dalam kamar.
Henri menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya itu. Gemas. Ia gemas melihat tingkah sok merajuk Shani dan melihat Shani yang masih mempertahankan gengsinya untuk bertanya mengenai kabar Vino padanya.
Menurut cerita Vino tadi saat di cafe, sudah hampir tiga minggu Vino tidak menghubungi Shani, bahkan ketika Shani mengalah, menurunkan ego dan lebih dulu mengirim pesan padanya, ia memilih untuk mengabaikan pesan Shani dan menjawab pesan itu dalam hatinya.
"Dek, hp kamu bunyi, tuh." Kata Henri, "dari Vino, nih." Tukasnya setelah melihat caller ID yang tertera di layar.
"Koko kalau bohong Adek laporin Mama, ya!"
"Yaudah, terserah."
Henri menoleh kebelakang saat mendengar suara pintu terbuka lengkap dengan kepala Shani yang menyembul keluar, "Mana handphone Adek?" Shani menodongkan tangannya.
"Tuh, di meja. Nggak lihat emangnya?" Jawab Henri santai tanpa berniat mengambilkan benda persegi itu untuk adiknya.
"Kokoo!!"
"Apa?"
"Tolong, please.."
Shani memasang puppy eyes dan tentu saja Henri menyerah lalu mengambil handphone yang masih terus berbunyi itu kemudian ia letakkan di atas tangan Shani yang masih terus menodong.
"Inget, Vino juga punya perasaan." Pesan Koko sebelum Shani menerima telepon tadi, "Vino partner kerja terbaik Koko, jangan macem-macem." Tukasnya lalu melangkah ke kamarnya.
Shani menatap layar ponselnya dengan senyum mengembang, ibu jarinya langsung menekan ikon warna hijau.
"Hai, Vino.."
***
Vino baru saja mengantarkan hot chocolate pesanan salah satu pengunjung Yojo cafe saat seorang gadis yang memakai dress hitam dengan jaket denim berwarna cokelat itu masuk diikuti dengan bocah yang memakai seragam SMA.
"Kamu ngapain ikut, sih?"
"Mau jajan, emang nggak boleh?" Gracio menjulurkan lidah kemudian melangkahkan kakinya menuju salah satu meja yang ada di sudut cafe.
Shani memutat bola matanya kemudian kembali berjalan menghampiri Vino yang terlihat fokus mengamati Radit--si pembuat kopi yang handal--sedang meracik pesanan.