09

2K 146 103
                                    

"Cio," Ujar Ilman langsung melepaskan pelukannya dengan seorang wanita yang sangat Gracio benci.

"Pura-pura nggak lihat.. pura-pura nggak lihat.." Gumam Gracio kemudian kembali melangkah.

"Cio, Papi minta maaf," Gracio menghentikan langkahnya--ingin mendengarkan apa yang Papinya itu akan katakan padanya--"Papi kemarin kelewat emosi. Maaf, Papi nampar kamu." Ilman melangkah mendekat pada putranya.

Gracio bergeming, lelaki itu menoleh ke arah lain ketika Papinya berdiri di depannya, mata Gracio tiba-tiba memanas dan ia dengan susah payah berusaha menahan agar cairan bening yang sudah menutupi pandangannya itu tidak terjun dengan bebasnya di depan Ilman.

"Maaf, Nak. Papi minta maaf.."

"Jujur, Saya kecewa sama Papi yang kemarin lebih belain perempuan sialan itu dan lebih memilih untuk menampar saya daripada mengusir jauh-jauh perempuan yang udah masuk di kehidupan keluarga kita," Gracio akhirnya menatap mata Ilman dengan pandangan mata yang kabur, "Saya nggak ngerti apa alasan Papi melakukan ini, Saya kecewa sama Papi. Dan.. kalau bisa memilih, sebelum saya dilahirkan, saya akan meminta pada Tuhan untuk mengganti takdir saya. Saya nggak mau punya Papi seperti kamu, yang ingkar sama janjinya pada Tuhan dan keluarganya." Tepat setelah berkata seperti itu air matanya menetes, ia dengan cepat berbalik badan, lekas meninggalkan Ilman yang kini menatap punggungnya dengan sendu.

Ilman menghela napas sambil memejamkan matanya dengan kuat, dadanya tiba-tiba terasa begitu sesak, rasanya seperti ada batu besar yang kini tengah menimpa dirinya. Sekecewa itu kah Gracio padanya? Sebesar itu kah kesalahan yang ia perbuat, sampai-sampai Gracio bisa mengatakan hal tadi tepat di hadapannya.

"Kemana perginya anak Papi yang selalu mengidolakan Papi? Kemana perginya anak Papi yang penurut dan taat pada Tuhan juga orang tuanya, Cio?" Teriakan Ilman membuat Gracio berhenti melangkah tepat setelah menaiki anak tangga.

Laki-laki itu menoleh, melihat ke lantai bawah, "Anak yang Papi cari itu udah mati, dia udah nggak ada semenjak Papi sibuk sama perempuan simpanan Papi dan kehadiran bayi kecil nggak berdosa hasil perbuatan menjijikan kalian berdua."

Gracio kembali melangkah menuju kamarnya dengan dada yang sesak, air matanya makin deras begitu ia masuk ke dalam kamar. Dadanya bergerak tak beraturan menahan emosi yang sejak tadi sudah membuncah, Gracio sudah sangat ingin memukul wajah Papinya itu andai ia tidak teringat jika lelaki itu adalah orang tuanya.

Gracio tahu, tidak seharusnya ia mengatakan hal seperti tadi pada Ilman, ia sudah mati-matian menahan diri sejak dulu agar tidak berkata seperti itu. Tapi sepertinya tamparan Ilman kemarin berhasil membuat dirinya tidak lagi bisa menahan emosinya.

Suara ketukan pintu menginterupsinya, "Cio.." itu Yona yang membuka pintu sambil membawa segelas susu coklat di tangannya, "Mami boleh masuk?"

Gracio mengusap air mata di pipinya lantas mengangguk, "Kenapa, Mi?"

Yona duduk di tepi kasur Gracio setelah meletakkan segelas susu tadi di atas nakas. Tangannya terjulur mengusap rambut Gracio yang berantakan.

"Cio, kamu nggak boleh bilang hal kayak tadi ke Papi," ujar Yona yang membuat Gracio tertunduk lesu, "Bagaimana pun keadaannya, Papi kamu tetap Papi Ilman. Sejahat apa pun, dia itu tetap Papi kamu. Kamu nggak boleh bilang hal kayak tadi.. Tuhan sudah mentakdirkan itu semua, Tuhan sudah membuat rencana dan percaya kalau rencana Tuhan pasti nggak pernah salah."

"Termasuk takdir Papi yang selingkuh dari Mami?" Gracio bertanya.

Yona tersenyum, sedikit membasahi bibir bawahnya sebelum menjawab, "Iya, pasti ada pelajaran hidup yang Tuhan kasih ke kita melalui kejadian itu. Pasti ada hal baik yang Tuhan sampaikan melalui kejadian itu."

How IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang