Sudah satu minggu semenjak Shani menjawab pertanyaan Vino tentang memberikan mereka kesempatan untuk bersama. Sudah seminggu pula Vino selalu mengantar serta menjeput Shani untuk kuliah, jika Vino sedang tidak ada kelas tentunya.
Bucin? Memang.
Apalagi Shani adalah pacar pertama Vino setelah dua puluh tahun tahun ia hidup.
Selama seminggu pacaran, belum pernah ada keributan antara mereka. Seperti biasa, Vino akan tetap menjadi Vino yang mengalah jika sudah berurusan dengan sang pujaan hati.
Vino tahu setinggi apa ego Shani dan untuk itu ia selalu berusaha untuk menekan egonya sendiri agar tidak membuat mereka ribut karena hal sepele. Vino tidak masalah dengan hal itu jika masih dalam batas wajar. Katakanlah ia sedang belajar untuk menjadi lebih dewasa, siapa tahu nanti kalau Shani benar menjadi jodohnya di masa depan ia sudah lebih paham dan bisa memahami Shani beserta segala ego dan sifat manjanya.
Iya. Ngayal aja dulu, siapa tahu jadi kenyataan.
Sore ini Vino mampir ke apartemen Shani atas permintaan gadis itu. Dan Vino tidak punya pilihan lain, apalagi tiga jam yang lalu ia baru saja mendapat ceramah tentang tidak baiknya minum kopi di saat perut kosong dari Shani.
Dan di sinilah Vino sekarang. Di apartemen Shani, duduk manis di kursi pantry sambil menonton Shani yang sedang memasak nasi goreng untuknya dan tentu diselingi dengan omelan serta ceramah singkat mengenai kesehatan.
"Harus berapa kali lagi aku ngasih tahu kamu kalau minum kopi waktu perut kosong itu nggak baik?" Shani menoleh dan melirik Vino dengan malas, "kamu sama Koko sama aja. Bebal." Gadis itu kembali fokus dengan nasi gorengnya.
"Maaf."
Ya. Jika Shani sedang mode emak-emak begini jangan dilawan. Cukup dengarkan dan minta maaf. Selama Vino kenal dengan gadis penyuka kue putu itu, cara tadi sangat ampuh agar Shani tidak semakin marah. Tapi sepertinya kali ini cara tadi tidak lagi berlaku.
"Maaf terus. Kamu dengerin aku nggak, sih selama ini?!" Shani melayangkan tatapan tajamnya dan Vino langsung menunduk, "kalau sakit yang repot siapa?"
"Aku sendiri." Cicit Vino masih menunduk tidak berani membalas tatapan Shani.
Shani menghela napasnya panjang, mengambil piring dan menuangkan nasi goreng buatannya. Masih dengan kekesalannya gadis itu meletakkan piring tadi di hadapan Vino kemudian mengambil gelas yang ia isi air kemudian ia letakkan di samping piring.
"Aku tuh nggak mau kamu sakit," Shani duduk di kursi samping Vino, "kalau kamu sakit kamu itu merugikan diri kamu sendiri. Kamu ketinggalan materi kelas, dan nggak bakal bisa ngerjain tugas-tugas kamu yang seabrek itu."
Vino mengangguk masih dengan kepala tertunduk.
"Maaf, nggak lagi."
Shani akhirnya melunak, gadis itu meraih sendok kemudian mulai menyuapkan nasi goreng untuk Vino.
"Buka mulutnya." Titahnya.
Vino mengangkat kepalanya, melirik Shani takut-takut dan membuka mulutnya menerima suapan dari Shani.
"Jangan bandel, aku bawel juga karena sayang sama kamu. Nggak mau kamu kenapa-kenapa, ngerti?"
Vino mengangguk dan Shani menghela napas, ia tidak bisa menahan senyumnya melihat wajah Vino yang seperti anak kucing yang terpisah dari induknya.
"Yaudah, makan dulu sini."
***
Setelah drama membujuk Shani dan kembali mendengarkan kultum kesehatan dari Shani, sepasang anak manusia itu duduk di sofa sambil menonton TV series kesukaan Shani.