Sudah hampir satu jam Shani duduk di restoran ini bersama dengan Wedding Organizer untuk pernikahannya. Wanita itu melirik apple watch miliknya sebelum kembali menelepon seseorang yang selalu saja ngaret kalau mereka ada janji untuk acara pernikahan mereka.
"Hai, Sayang,"
Shani mendelik pada Vino yang terlihat berkeringat dan napas yang terengah.
"Maaf, aku terlambat," Vino mengecup pelipis Shani kemudian duduk di samping gadisnya, "udah bahas apa aja?"
"Belum bahas apapun, Mas. Mbak Shani katanya mau nunggu Mas Vino datang dulu."
Vino mengangguk, ia kemudian meraih tangan Shani untuk ia genggam.
"Makasih, Sayang. Yaudah, yuk kita bahas aja sekarang."
Setelah selesai meeting terakhir kalinya sebelum pernikahan mereka, Shani langsung meraih hand bagnya dan melangkah meninggalkan Vino.
"Tunggu dulu dong, Shan..."
Shani tidak memperdulikan Vino, ia terus melangkah keluar dari restoran tempat mereka mengadakan meeting.
"Aku antar pulang, ya." Ujar Vino ketika melihat Shani membuka aplikasi taksi online di ponselnya.
"Nggak usah. Kamu kan sibuk sama pekerjaan kamu, aku bisa pulang sendiri."
Vino menghela napas kemudian merampas ponsel Shani dan langsung mengajak gadis itu ke mobilnya.
Perjuangan Vino belum berakhir setelah Shani mau masuk ke dalam mobil. Ia masih harus membujuk Shani yang ngambek dan tidak mau menjawab semua pertanyaan Vino.
"Indira, masak aku daritadi ngomong kamu diem doang..." Vino mengambil tangan Shani untuk ia genggam, "masih ngambek?"
Shani menoleh dan langsung melayangkan tatapan tajamnya.
Okay, here we go again...
"Kamu sebenarnya serius mau nikah sama aku nggak, sih?!"
"Iya lah, Shan."
"Tapi sikap kamu nggak menunjuk kayak gitu, tuh?" Shani menarik tangannya dari genggaman Vino, ia menyilangkan kedua tangan di depan dada masih menatap Vino dengan tatapan tajamnya, "kamu selalu telat tiap kita meeting sama WO, kamu juga selalu telat kalau ada pertemuan keluarga kita, kamu bahkan hampir lupa kalau kita belum milih souvenir buat pernikahan kita kalau bukan aku yang ingetin!"
"Nah, itu alasannya kenapa aku serius dan mau nikahin kamu, kamu selalu ngeingetin aku ke hal-hal kecil kayak souvenir itu."
Shani menatap Vino dengan tak percaya.
"Hal kecil kamu bilang?! Jadi, souvenir kita nggak penting?!"
Mampus salah ngomong.
"Nggak gitu, Sayang..."
"Udah lah, kamu emang nggak pernah serius sama aku. Kamu sadar nggak sih kalau pernikahan kita itu kurang dari sebulan lagi?!"
Vino menghela napasnya panjang, ia kemudian menepikan mobilnya untuk mengajak Shani bicara dengan kepala dingin. Bisa bahaya kalau menyetir sambil mendengarkan rentetan omelan Shani yang sedang dalam mode macan palang merah Indonesia. Alias, PMS.
Setelah menepikan mobilnya Vino lantas memutar tubuhnya menghadap Shani yang memilih membuang muka menatap kaca samping.
"By, aku minta maaf, ya? Jangan pernah mikir aku nggak serius sama pernikahan kita lagi, mana mungkin aku main-main sama kamu, sama pernikahan kita? Aku bahkan udah bilang akan nikahin kamu ke orang tua kamu sejak kita masih kuliah, mana mungkin aku nggak serius sama kamu, hm?" Vino meraih tangan gadisnya untuk ia genggam, "Indira, we already talked about this, right?"