Suara klakson yang bersahutan di belakangnya membuat Jeje tersadar. Pemuda itu perlahan kembali melajukan mobilnya ketika lampu sudah berubah hijau beberapa detik yang lalu. Ia tak fokus, percakapan Galang dan Adara begitu mengganggunya.
Jeje menghela nafas, memandang gadis yang melenguh di sampingnya.
Lisa perlahan membuka mata, memperbaiki posisi setelah sadar ia sedang berada dalam mobil bersama Jeje yang sedang menyetir. Kepalanya masih terasa pening, sehingga ia memutuskan untuk menyamankan diri dengan menurunkan sedikit kursinya.
"lo udah nggak apa-apa?"
"Hm..." gadis itu bergumam lemah, "lo mau bawa gue pulang?"
"gue nggak mungkin bawa lo ke ruang karaoke dengan keadaan lo yang kayak gitu. Atau lo mau ke dokter dulu?" ajaknya membuat Lisa menggeleng lemas.
"gue cuma pusing, Je."
Pemuda itu tak lagi mendebat, hanya mengantarkan Lisa sampai ke kediamannya. Jeje turun lebih dulu dan membantu Lisa berjalan. Keduanya kini sudah berada di ruang tamu, Jeje memerhatikan rumah itu yang kelihatan sepi. "orang tua lo ada?"
Lisa menggeleng lagi. "lagi di luar kota. Besok baru pulang."
Jeje tak menyahut, pemuda itu memilih untuk berjalan ke arah dapur kemudian kembali dengan membawa mangkuk berisi air hangat serta handuk kecil. Dari mereka semua, memang Jeje, Julian dan Gina yang paling sering bermain ke rumah Lisa, sehingga ia tak perlu repot untuk bertanya pada bi Sari dan membuat wanita itu panik setengah mati jika tahu Lisa pulang dengan keadaan seperti ini, ART Lisa yang satu itu memang ekspresif dan posesif apalagi terhadap Lisa yang sudah ia rawat sejak kecil.
Bi Sari mungkin sedang di kamar sambil menonton acara berita favoritnya.
Gadis itu sudah berbaring di atas sofa sekembalinya Jeje, ia mendekat dan meletakkan handuk itu di atas dahi Lisa. Atensinya beralih pada jam yang menunjukkan pukul delapan malam kemudian pada Lisa lagi yang sedang terlelap. Pemuda itu menghela nafas dan meregangkan ototnya, "ngerepotin, kebiasaan."
Jeje akhirnya membawa gadis itu ke kemar. Setelah menyelimuti gadis itu, lantas Jeje ingin beranjak saat tangannya tiba-tiba digenggam kuat. "gue takut..." suaranya nyaris tak terdengar, tapi Jeje kembali berlutut untuk memastikan.
Gadis itu berkeringat dingin, wajahnya yang tadi terlihat damai kini berubah pucat. Perlahan matanya terbuka, menatap sosok pemuda yang menatapnya cemas.
"lo sakit? Masih pusing? Gue ambilin obat ya"
Ia sudah akan berdiri saat Lisa kembali menahannya, menggenggam erat tangannya. "bentar aja Lis"
Gadis itu menggeleng, memejamkan matanya erat. "disini aja. Gue takut"
Niatnya mau bersenang-senang, tapi karena kepulangan Lisa dan Jeje membuat mereka semua memilih untuk kembali ke rumah masing-masing. Awalnya mereka memang akan menyusul Lisa, namun chat dari Jeje mengurungkan niat mereka. Satu persatu dari mereka meninggalkan ruang karaoke, menyisakan Julian dan Malik yang masih setia di posisinya.
"lo nggak balik?"
Julian melirik sekilas, meraih remot untuk memilih lagu. "gue mau nyanyi dulu." Sahutnya singkat, mengambil mic dan bersiap untuk bernyanyi.
Malik menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa sia-sia. Ia berbaring sambil bermain game, membiarkan Julian dengan teriakannya yang tak mengusik pemuda itu sama sekali. "untung suara lo bagus." Gumamnya sambil bermain game.
Puas dengan sepuluh lagu, akhirnya Julian duduk dengan nafas tersengal. Meneguk minumannya dan menatap Malik yang masih asik dengan ponsel pintarnya. "lo nggak balik?"
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...