Setelah dipersilakan masuk, Revin berjalan menaiki tangga menuju satu kamar dengan tulisan 'silence is better than bullshit' di depan pintunya. Ia menghela nafas sesaat kemudian mengetuk pintu itu. Revin masuk saat pemilik kamar memintanya, kemudian duduk menghadap gadis itu dengan meja kecil sebagai pembatas antara mereka. Revin tersenyum begitu juga gadis dengan hoodie hitam yang menjadi outfitnya hari ini.
"kayaknya semangat banget hari ini." Ujar Revin memulai obrolan.
Lisa mengangguk antusias. "minggu depan gue udah bisa balik ke sekolah."
Pemuda itu tersenyum lega. Akhirnya setelah kurang lebih dua bulan tak bersekolah, Lisa akan kembali lagi dengan rutinitasnya yang sempat ia tinggalkan karena masa penyembuhan. Selama itu juga Revin jadi rajin ke rumahnya untuk memberikan pembelajaran susulan semasa penyembuhan Lisa.
Atas permintaan langsung dari orang tua Lisa agar anaknya tak ketinggalan materi, juga sebagai hukuman atas kebebalan perilaku Revin yang selalu langganan masuk BK. Meskipun terbilang bermasalah, Revin juga termasuk ke dalam jajaran siswa beprestasi di sekolah. Karena selama dua tahun berturut-turut, ia selalu mendapat nilai tertinggi seangkatan pada ulangan akhir semester dan juga menjadi perwakilan sekolah dalam OSN bidang Ekonomi yang selalu pulang dengan piala di tangannya.
Alih-alih merasa di hukum, Revin justru senang karena bisa mengajari Lisa dan bertemu dengannya setiap hari. Bagaimana tidak? Satu-satunya orang yang diperbolehkan untuk menjenguk Lisa, hanya dia. Bahkan teman-teman terdekatnya pun tak diperbolehkan menemui gadis itu atas suatu alasan.
Meskipun Revin juga tetap harus merahasiakan hal itu pada semua orang, termasuk teman-teman kelasnya.
"udah kangen banget sekolah ya?" tanya Revin basa-basi.
Lisa mengangguk. "gue kangen makan bareng di kelas, kangen dapat hukuman pak Riduan kalau telat ke lapangan, kangen ngusilin Kiara, kangen karaokean di kelas waktu jam kosong, kangen bolos ke kantin pas pelajaran sejarah. Semuanya deh gue kangenin." Ujar Lisa antusias, namun terdengar ganjil di telinga Revin.
Pemuda itu mengernyit. "Cuma itu?"
Lisa menatap heran sejenak kemudian melanjutkan dengan nada cengengesan. "gue kangen lo juga kok hehe."
Tidak. Bukan itu yang ingin di dengar Revin dari Lisa. Ada hal yang hilang dalam kalimatnya, tapi pemuda itu ragu untuk memastikan.
"lo kenapa, Vin?" tanya Lisa heran.
"lo nggak kangen temen-temen lo?"
Lisa diam. Melihat perubahan ekspresi itu membuat Revin khawatir dan mengumpati diri sendiri dalam hati. Seharusnya ia tak perlu menyebutkan pemicu traumanya, sehingga saat Revin akan mengalihkan permbicaraan, Lisa lebih dulu menyahut dengan ekspresi biasanya.
"gue kangen mereka kok."
"mereka juga kangen banget sama lo."
Lisa tersenyum lagi, kemudian membuka buku pelajarannya. Sesaat keduanya tenggelam dalam teori panjang penuh penjelasan lalu dilanjutkan dengan rumus-rumus yang membuat otak terasa pecah berserta penjabarannya. Beberapa kali Lisa mengeluh tak bisa mengerjakan, tapi Revin dengan sabar mengajari gadis itu sampai akhirnya hari mulai petang dan pembelajaran telah usai.
"Vin, temenin gue makan dulu ya." Pintanya pada pemuda itu yang kini membereskan alat tulisnya ke dalam tas.
Pemuda itu tak langsung menyahut, masih sibuk dengan aktifitasnya sambil memikirkan maksud dari kalimat Lisa. Karena ini pertama kalinya selama Revin ke sini, Lisa menahannya untuk tak langsung pulang. Revin pikir, Lisa pasti membutuhkan teman untuk bercerita saat ini.
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...