Dua Puluh Enam

844 138 5
                                    

Riuh suara tepuk tangan dan teriakan menggema di sepanjang koridor, saling sorak menyoraki team basket yang sedang bertanding di lapangan outdoor. Tak terkecuali Lisa dan Revin yang memilih untuk menonton dari gedung lantai dua, tepatnya di depan Lab Bahasa.

Lisa tersenyum, sesekali bertepuk tangan dan ikut berteriak menyoraki jika ada yang melakukan pelanggaran atau pemain yang bisa mencetak skor. Revin yang memerhatikan itu sesekali terkekeh, bersyukur karena beberapa bulan terakhir ini Lisa kembali seceria biasanya.

Rasanya baru kemarin gadis itu selalu murung, sehingga Revin mau tak mau harus menjaga moodnya agar tak kembali buruk. Beruntung kesibukan mereka menghadapi UAS kemarin berhasil mengalihkan perhatian Lisa pada teman-temannya dan akhirnya gadis itu hanya terfokus pada belajar dan usaha meningkatkan nilainya.

Pandangannya terarah lurus pada Julian yang juga sedang menatap ke arah mereka, di pinggir lapangan ia berdiri bersama kedelapan lainnya. Julian sempat tersenyum kecil padanya sebelum kembali berteriak heboh bersama Malik di sana, sesekali Gina berdiri di depan mereka menyuruh diam tapi tak dihiraukan.

Revin kembali menatap Lisa yang melamun, dari arah pandangnya ia tahu gadis itu pasti sedang memerhatikan teman-temannya yang berkumpul di bawah sana.

"Kalau nilai lo lebih tinggi dari gue. Gue bakal bantuin lo buat ketemu mereka diam-diam." Revin berujar membuat Lisa seketika tertawa.

"Itu artinya gue nggak akan bisa ketemu mereka."

"Who knows?"

"Everybody know that you will always be the number one. The best one." Sahut Lisa kembali mengalihkan atensi pada lapangan. "Gue nggak apa-apa kok, Vin. Tahu kalau mereka masih peduli aja gue udah syukur." Ujarnya melanjutkan.

Revin menghela nafas, ikut memandang ke arah yang sama. Sejak malam di mana ia memilih untuk menghubungi Julian dan memperdengarkan langsung suaranya melalui ponsel, Lisa tak lagi semurung sebelumnya.

Gadis itu percaya, meskipun mereka sedang tak bertegur sapa dengannya untuk saat ini tapi teman-temannya itu pasti masih sangat peduli dan menyayanginya. Keyakinan itu yang membuat perasaannya lebih lega.

Sorakan nyaring itu membuat keduanya sama-sama tersentak, seorang pemain jatuh di tengah lapangan. Ketika Lisa berusaha mengenali siswa itu, Rosi tahu-tahu maju dan mendorong salah satu pemain dari team lawan.

Lisa spontan mengumpat. "Itu Rosi ngapain?"

"Marvin, Lis."

Suasana berubah heboh, semua siswa jadi mendekat dan mengerubungi mereka. Di tengah sana terlihat Yoga yang ditarik oleh teman-teman seteamnya termasuk Dewa yang dari tadi menonton di pinggir lapangan juga ikut turun tangan memisahkan mereka.

Marvin hanya terus menatap tajam pada Yoga yang terlihat memberontak. Ia berusaha menguasai emosi karena Rosi berdiri di sampingnya. Pemuda itu jelas tahu Yoga masih berusaha untuk mencari gara-gara setelah kejadian waktu itu, sehingga saat kelasnya harus melawan kelas mereka pada class meeting hari ini, Marvin sudah menduga kejadian seperti ini mungkin akan terjadi.

"Dia yang dorong gue duluan, bangsat!"

Makian dan sumpah serapah terus diucapkan Yoga karena tak terima kelasnya terpaksa harus didiskualifikasi, sementara panitia yang bertanggung jawab atas pertandingan hari ini langsung membubarkan kerumunan agar tak semakin memperumit keadaan.

Marvin di bantu teman-teman seteamnya menuju ke UKS, kemungkinan kaki kirinya terkilir. Sementara itu, Rosi ditemani Gina dan Adara mengikuti pemuda itu ke sana. Sedang Julian, Jeje, Malik, Dicky dan Galang juga beranjak dari sana.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now