Malik sudah siap dari setengah jam yang lalu, duduk di salah satu kursi rotan yang tersusun melingkari meja bundar yang di atasnya sudah tersedia banyak makanan. Ia tak bercanda saat mengatakan bahwa akan mengadakan acara malam ini, hanya saja bukan benar-benar untuk merayakan dia yang sudah agak rajin. Malik dan keluarganya tentu saja tidak sekurang kerjaan itu.
Malik hanya lelah, tak ingin membiarkan teman-temannya tenggelam lebih dalam pada skenario yang mereka buat sendiri.
Jika acara karaoke saat itu gagal, maka Malik tak akan membiarkan kejadian itu terulang dua kali. Setidaknya, malam ini harus ada satu masalah mereka yang terselesaikan.
Entah apa, Malik juga tak yakin.
"Mal..."
Yang dipanggil kontan menoleh, mendapati Rosi yang datang pertama. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Terlihat sekali raut wajahnya yang kebingungan sekaligus takut.
"lo sendiri?"
Rosi mengangguk menanggapi pertanyaan dari pemuda itu. Rasanya masih sulit sekali bersikap biasa pada Malik setelah kejadian tadi siang. Mereka yang biasanya suka adu bacot, malah kelihatan kaku sekali saat ini.
"gue harap mereka cepat sampai. Gue udah bosan nunggu."
Rosi tak menyahut, hanya terus diam sambil mengalihkan atensinya. Malik yang menyadari tingkah laku Rosi yang memang aneh sejak kedatangannya, membuat pemuda itu menghela nafas panjang.
"bacotan lo mana Ros? Lagi puasa ngomong ya?" ujarnya membuat Rosi menatapnya bingung.
"Lo lagi bercanda apa serius sih Mal?"
"menurut lo?"
Rosi mengernyit, semakin tak paham dengan perilaku Malik. Gadis itu ingin sekali bertanya, tapi entah kenapa mulut dan otaknya saat ini tidak bisa bersinkronasi. Rosi benar-benar tak tahu bagaimana harus bersikap setelah sekian lama berteman dengan seorang Malik yang mereka kenal petakilan.
"MAL WOY, TUMBEN!"
Seruan itu membuat keduanya menoleh pada sumber suara. Jeje datang bersamaan dengan Lisa dan Dicky yang berjalan di belakangnya.
"Ada apaan Mal?" Tanya Lisa masih heran, gadis itu menatap sekeliling. Tak ada dekorasi apapun selain meja lengkap dengan sepuluh kursi yang ada tepat di tengah taman rumah Malik. Ia duduk di samping Rosi sambil menatap hidangan yang tersedia di sana.
"rumah lo sepi Mal."
Malik menatap pada Dicky yang memilih duduk menyebranginya. "emang kapan rumah gue rame?"
"ya maksud gue, bonyok lo nggak ada?"
Malik berdeham. "mereka pergi."
"Halah, pantes dia ngajakin kita kesini." Sahut Jeje santai. Ia sedang sibuk dengan ponsel dan duduk di tepian kolam renang yang berada tepat di samping taman itu.
"Gue pikir lo nggak bakal datang, Je."
Jeje memandang Malik sebentar, kemudian fokus sama ponselnya lagi. Pemuda itu tersenyum miring. "gue harus datang dong, Mal. Biar makin rame."
"nggak usah aneh-aneh, mending lo pulang sebelum gue usir."
Jeje tergelak di tempatnya, sedang mereka yang dari tadi memerhatikan kelihatan bingung dan saling tatap. "gue ketinggalan apa nih?" celetuk Lisa bertanya. Atmosfirnya agak aneh saat pertama ia menginjakkan kaki di rumah ini.
Tak ada yang menjawab. Malik dan Jeje kini sama-sama diam. Lisa menoleh pada Rosi yang dari tadi menunduk. Saat akan bertanya suara lain menginteruksinya dan mengalihkan atensi pada Julian yang datang bersama Gina.
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...