Bohong jika adara tak gugup, buktinya sejak tadi ia merasa tak tenang. Posisi duduknya berkali-kali berubah, bahkan Adara sesekali berdiri atau beralih ke toilet sambil menunggu pemuda itu datang.
Gadis itu menghela nafasnya sambil memandangi diri melalui cermin. Sosok gadis berkemeja cokelat gelap dan rambut tergerai itu terlihat rapi malam ini. Adara tersenyum pada pantulannya sendiri untuk mengembalikan kepercayaan diri.
Setelah membasuh kedua tangannya di wastafel, Adara beranjak keluar dan mendapati Dewa sudah datang di sana. Pemuda itu duduk sambil membuka buku menu, kemudian mendongak saat sadar Adara duduk di hadapannya.
"Sorry. Tadi gue habis dari toilet."
"It's okay, Dar. Gue juga baru sampai."
Percakapan mereka terjeda sesaat ketika mereka memesan. Setelah itu Adara kembali merasa gelisah terlihat dari tindakannya mengetukkan jari di atas meja. Dewa masih belum bersua, pemuda itu tak ingin terburu-buru dan mengakhiri malam ini dengan cepat.
"Galang gimana?" Buka Dewa memulai percakapan.
"Cukup baik."
Jawaban singkat itu bukan semata-mata Adara utarakan karena basa-basi. Dia ingin Dewa tahu, atau mereka semua tahu kalau Galang tidak benar-benar baik saat ini.
Dewa tersenyum menanggapi. "udah lama gue nggak ngobrol sama dia."
Adara mengalihkan atensi, merasa pembahasan kali ini mungkin akan sedikit menguras emosi. "Mungkin nanti kita bakal balik lagi kayak biasa." lanjutnya.
"Semoga, Wa." Sahut Adara tak yakin. Entahlah, rasanya sangat sulit membayangkan untuk kembali ke masa di mana persahabatan mereka jauh dari kata konflik namun penuh kepura-puraan.
"Gue pengen kita sama-sama berusaha buat bikin persahabatan ini ada nggak hanya buat ngerasa bahagia bareng, tapi sakitnya juga."
Adara diam sambil menatap Dewa. Mendengar ucapan pemuda itu rasanya ia masih bisa merasakan harapan itu ada. Gadis itu tentu saja tak mau kehilangan mereka.
"Apa rencana lo?" tanya Adara setelah sempat diam berpikir.
Kalimat Dewa terpaksa ia tahan saat pelayan datang membawakan pesanan mereka. Ketika semua hidangan itu sudah tertata di meja, Dewa tak langsung melanjutkan. Keduanya memilih untuk mengisi perut mereka terlebih dahulu dengan diselingi obrolan ringan.
"Gue masih nggak nyangka aja lo bisa pacaran. Ng. Maksud gue, tanpa kita semua sadar. Gue sama yang lain nyangkanya elo tuh ya untouchable man kayak yang sering Lisa bilang." Ujar Adara mengingat peristiwa di pantai saat itu, ketika pertanyaan yang dibacakan untuk Dewa berhubungan dengan jumlah pacarnya yang tak bisa dihitung pakai jari.
Dewa tertawa ringan. "Gue nggak bakat buat nolak cewek, jadi yagitu." Sahutnya santai tanpa beban. "mereka ngajak pacaran ya gue iyain. Lagi pula, semua cewek yang gue pacarin dari luar sekolah kita kok. Itu sebabnya kalian nggak pernah sadar."
Adara mengagguk paham, meskipun dalam hati terkejut juga. Masih tak menyangka saja seorang Dewa yang terkenal angkuh dan tak tergapai di sekolah malah berimej bad boy di luar kandang.
"Terus sekarang pacar lo ada berapa?" tanya Adara iseng, padahal tak peduli banyak atau bahkan tak mau tahu sebenarnya.
"Nggak ada."
Adara mengernyit. "Kok nggak ada?"
"Mereka cuma minta status, dan nggak lama ya putus. Hubungan kayak gitu nggak akan bertahan lama, Dar." Jelasnya membuat gadis itu masih tak paham.
Adara tanpa sadar menggaruk kepalanya sambil terkekeh. "Gitu ya." Sahutnya singkat, bingung mau merespon bagaimana saat dia saja baru punya teman ketika menginjak bangku SMA, tak berpengalaman sama sekali dengan hal-hal berbau romansa.

YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...