Lima Belas

942 150 39
                                    

Rosi masih memandangi layar ponsel yang menampilkan ruang obrolannya dengan Dewa. Sejak tadi otaknya sibuk berpikir, mengetik kalimat panjang lebar dan kemudian menghapusnya lagi, dan lagi. Mungkin ini sudah kali kelima pesannya batal dikirim. Pemuda yang duduk di hadapan gadis itu ikut menghela nafas, setelahnya Rosi menyandarkan tubuhnya pada kursi, terlihat lesu.

"Is it too complicated?"

Rosi menatap lawan bicaranya sejenak. "I dunno."

"dua tahun kalian bareng, baru kali ini gue lihat Jeje begitu." Marvin berujar sambil memakan kentang goreng. "apalagi sama temennya sendiri."

"gue juga bingung sama kami semua. Awalnya gue pikir ini tuh cuma masalah sepele yang akan berakhir seiring berjalannya waktu. Tapi gue baru sadar kalau ternyata masalah yang selalu kita anggap biasa itu malah berujung kehancuran kayak gini."

Marvin memilih diam sambil menerka. Menurutnya serta pandangan siswa-siswi lain yang memerhatikan, mereka selalu dianggap friendship goals. Satu dapat masalah, yang lain pasti ikut. Itulah mengapa tak ada satu pun dari siswa-siswi di sekolah yang berani berurusan dengan mereka, apalagi kalau itu bersangkutan dengan Lisa dan Dicky. Bukan hanya ke delapan temannya yang maju, tapi satu kelas ikut turun tangan.

"gimana ya, Vin. Hubungan pertemanan kayak gini tuh emang beresiko." Ujarnya tergugu. "di satu sisi lo mau jujur dan jadi egois, tapi sisi yang lain bilang kalau hubungan persahabatan itu lebih penting karena kalau cacat sekali kedepannya udah nggak akan sama lagi."

"life is always about choices. Nggak ada pilihan yang benar-benar baik atau buruk. Segala pilihan pasti memiliki resikonya sendiri." Marvin menghentikan kalimatnya sambil menatap Rosi lebih lekat. "Rosi. Your life is not yours if you always care what others think."

"They are my best friend." Sahut Rosi tercicit, menahan air matanya agar tidak jatuh.

"I know." Marvin menyahut cepat. "but, Rosi. I didn't ask you to leave them. No. Just telling what you feel." Ujarnya sambil menggenggam tangan Rosi yang sudah berubah dingin.

"Gue takut, Vin."

"apa yang lo takutin?" tanya Marvin lagi. "kalau kalian memang sahabat, seharusnya bisa saling mengerti."

Rosi menggeleng, masih sambil terisak kecil.

"do you think that they won't understand?" tanya Marvin geregetan sendiri. "Then, they don't deserve to be your bestie."

Gadis itu menunduk. Apa yang Marvin katakan memang benar. Rosi terlalu takut untuk memulai, ia takut kalau mereka tak akan paham dan berakhir menghakiminya. Mengingat bagaimana respon yang mereka berikan saat ia dengan sengaja membuat kertas pertanyaan waktu itu. They were mad.

Rosi tak mau kehilangan teman-teman seperti mereka, meskipun kadang memang menyakitkan kalau terus memendamnya sendiri.

"lo belum chat, Dewa?" tanya Marvin saat ingat niat awal gadis itu.

Rosi kembali fokus pada ponselnya. "I don't know what to type."

"Just ask his condition, Ros."

Gadis itu menurut, hanya mengetikkan kalimat singkat pada Dewa dan mengirimnya. Ia menghela nafas, sesaat. Ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan Dewa ataupun Jeje jika tidak ada Marvin di sana tadi siang. Karena ada sesuatu yang harus Marvin kerjakan lebih dulu di ruang sekre basket, Rosi memilih untuk menunggunya dan pulang bersama. Tapi saat mereka berjalan ke area parkir, keduanya malah dihadapkan dengan Jeje yang tahu-tahu memukul Dewa tepat di wajah.

Menyadari kedatangan mereka berdua, Jeje langsung pergi. Dan sampai saat ini, Rosi tak tahu apa yang melatar belakangi kejadian itu. Dewa juga langsung beranjak tanpa kata. Bodohnya Rosi juga terlalu speechless untuk bertanya.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now