Dua Puluh Dua

787 149 13
                                    

Gara-gara bangun kesiangan, Julian terpaksa pasrah saja saat dihukum di tengah lapangan berserta beberapa siswa yang juga sama sepertinya. Di jemur sambil hormat menghadap tiang bendera, sesekali ia memejamkan mata karena silau tak memerdulikan teriakan teman-temannya yang menyoraki dari pinggir lapangan. Apalagi Malik yang paling semangat sambil merekamnya membuat Julian cuma mengumpat dalam hati karena masih ada pak Anhar yang sedang mengawasi.

"KAMU JUGA JULIAN, SUDAH KELAS DUA BELAS TAPI BISA-BISANYA MASIH TELAT. KASIH CONTOH ITU YANG BAGUS BUAT ADIK-ADIK KELAS KAMU BUKAN SEBALIKNYA!" tegur Pak Anhar nyaring karena dia satu-satunya siswa tingkat akhir yang melanggar peraturan hari ini.

"Iya pak." Sahut Julian sekenanya tak mau mendebat.

"JULIAN, SENYUM JUL!!!" teriak Malik antusias sambil mengarahkan ponselnya dari jauh.

Julian lagi-lagi hanya bisa mengumpatinya kasar dalam hati, sedang pak Anhar berbalik menatap ke sumber suara sambil melirik tajam. "KAMU MAU SAYA HUKUM JUGA?"

"Hehe. Makasih pak, tapi saya nggak tahan panas." Sahut Malik cengengesan sambil mengantongi lagi ponselnya.

"Halah, bilang aja takut gosong." Dicky mencibir, membuat pemuda itu mendelik tak terima.

"Emang kenapa sih cowok takut banget item, padahal kan sexy kalau eksotis gitu." Sahut Gina menimpali, berdiri di samping Rosi yang mengangguk setuju.

Dicky mengernyit. "Lha? Si Malik kan emang item dari sononya kenapa mesti takut?!"

Plak

"Bacot!"

"Anjir, sakit bego!" seru Dicky tak terima kepalanya digeplak.

"Udah woy, berantem mulu. Nggak bosen apa?!" ujar Rosi jengah sendiri.

"Mending kita ke kelas masing-masing, bentar lagi bel." Sahut Dewa menengahi. Kelimanya Sudah akan beranjak saat seruan Malik menahan langkah mereka semua.

"Eh anjir, itu Lisa? Dia udah masuk?"

Mereka kompak mengalihkan atensi pada arah yang ditunjuk pemuda itu, sama-sama kaget saat mendapati Lisa berdiri di depan ruang TU bersama Revin dan orang tua gadis itu. Pantas saja Dicky merasa aneh saat tak menemukan mereka berdua di barisan kelasnya waktu upacara tadi.

"Kenapa ya?" tanya Rosi heran.

"Gue harap bukan sesuatu yang buruk." Sahut Dicky berubah khawatir.

Dewa yang melihat itu tak berkomentar, hanya terus memerhatikan mereka sampai Lisa dan Revin beranjak dari sana setelah orang tuanya berpamitan. Suara bel pertanda pelajaran pertama berbunyi nyaring dari seluruh penjuru sekolah, membuat siswa-siswi yang tadi memadati koridor jadi perlahan beranjak memasuki kelas masing-masing.

Berbeda dengan kelima siswa yang masih membeku di tempatnya, menatap kepada satu objek yang sama. Julian yang sudah selesai dengan hukumannya beranjak mendekati mereka dengan kening berkerut heran, kemudian beralih menatap apa yang teman-temannya perhatikan.

"Lisa?!" ujarnya kemudian berlari.

Gadis itu menghentikan langkah tepat sebelum mereka berpapasan, kini mereka hanya terpisahkan jarak sekitar dua meter dari tempat masing-masing. Ditatapnya satu persatu teman-temannya yang terdiam di hadapannya sambil mengeratkan pegangan pada pergelangan tangan Revin.

Ketika pemuda itu menyadari perubahan Lisa, Revin beralih meraih jemarinya untuk ia tautkan, menggenggamnya erat. Kemudian ia menuntun Lisa untuk melanjutkan langkah mereka sampai akhirnya Julian berdiri menghadang mereka agar berhenti.

"Minggir!" seru Revin datar dengan tatapan mengintimidasi.

Julian tak terpengaruh sama sekali, balas menatap sengit pemuda di hadapannya. Atensinya beralih pada Lisa yang menunduk, membuat Julian menelan saliva kasar terpaksa membiarkan Revin atas tindakannya kali ini.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now