Dua Puluh

833 154 36
                                    

Setelah berpindah dari ruang IGD ke rawat inap, Dicky memutuskan untuk meninggalkan Rosi dan keluarganya di dalam. Pemuda itu kini duduk di salah satu kursi tunggu lorong rumah sakit, sambil mengetikkan pesan ke group chat.

Setelah pesan itu terkirim, ia kembali mengantongi ponselnya dan duduk termenung di sana. Derap langkah kaki yang menggema bersahutan itu menarik perhatian Dicky lantas ia menoleh dan mendapati Marvin berlari ke arahnya.

"Gimana kondisinya?"

Dicky tak bersua, pemuda itu hanya menunjukkan gestur untuk menyuruh Marvin masuk dan memastikannya sendiri.

Dicky menghela nafas kembali duduk. Teringat peristiwa tadi ketika mereka sedang belajar bersama, Rosi mengeluh dadanya sesak dan sulit bernafas. Selang beberapa saat gadis itu malah pingsan dan akhirnya di bawa ke rumah sakit.

Dicky pikir gadis itu asma, tapi ternyata dokter mengatakan kalau asam lambung Rosi naik dan mengharuskan gadis itu di rawat dulu sebelum kondisinya benar-benar baik untuk di bawa pulang. Apa yang menjadi penyebab kondisinya sampai memburuk seperti itu diduga stres karena Rosi belajar terlalu keras untuk menaikkan nilainya semester ini.

Tapi entahlah, Dicky rasa ada hal lain juga yang membuat Rosi kepikiran.

"Ky!"

Julian berseru sambil mempercepat langkahnya diikuti oleh Jeje, Malik dan Gina. Mereka semua terlihat panik, apalagi Gina yang memang paling cengeng di antara mereka sudah akan menangis di sana. "Rosi gimana?"

"Dia sakit apa, Ky?" tanya Malik.

"Dia nggak apa-apa kan?" ujar Julian menimpali.

"Heh, berisik anjir. Ini rumah sakit!" tegur Jeje saat ia rasa suara mereka bisa saja mengganggu ketenangan pasien lain, apalagi ini sudah malam.

Dicky menarik nafas sejenak sebelum menjelaskan kronologinya. Mereka semua diam tak berkomentar banyak saat pemuda itu menyelesaikan ceritanya. "Dia masih diperiksa di dalam, gue harap sih udah mendingan."

Suara pintu ruangan yang terbuka mengalihkan atensi mereka semua, di sana kedua orang tua Rosi diikuti seorang dokter dan satu perawat keluar dari ruangan gadis itu. Sejenak mereka terpaku, sampai dokter dan perawat tadi beranjak melalui mereka semua.

Kedua orang tua Rosi mendekat pada Dicky, memintanya untuk menjaga gadis itu sementara mereka mengurus beberapa hal terlebih dulu. Akhirnya mereka semua masuk ke dalam ruang rawat, di sana Marvin duduk di sisi Rosi yang terbaring lemah dengan selang oksigen dan infus yang menghiasi punggung tangannya.

"Kalian ngapain kesini?" tanya gadis itu parau, suaranya nyaris tak terdengar. "Gue nggak apa-apa."

Gina yang maju lebih dulu kemudian berdiri di samping Marvin, gadis mungil itu menangis sambil mengomel. "Elo kenapa sih chipmunk kok bisa sakit gini?!"

Meskipun sedang tak bertenaga, tapi Rosi tak bisa untuk menahan tawa lirihnya ketika mendengar Gina merutuk sambil terisak. Rosi meraih tangan sahabatnya itu untuk ia genggam. "Nggak usah nangis, nggak cocok sama tampang preman lo."

Gina merengek tak terima tapi tak bisa berbuat banyak selain menangis sambil mengusap air matanya berkali-kali. Setidaknya hal itu cukup untuk membuat suasana di ruangan itu kian ramai. Sampai atensi mereka kompak beralih pada kedatangan dua orang yang sama sekali tak mereka duga.

"Ros, lo kenapa?" pertanyaan Adara membuyarkan keterkejutan Rosi.

"Gue nggak apa-apa, Dar." Sahut Rosi sekenanya. "Lo sama Dewa habis dari mana?" tanya Rosi melanjutkan, sambil memerhatikan setelan tak biasa keduanya.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now