"Anjir, kenapa sih tu anak selalu nekat?!" rutuk Julian berlari cepat melalui lorong rumah sakit yang sepi, sampai di mana langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Jeje di lobi utama.
"Lo mau kemana?"
Sial. Kenapa harus bertemu pemuda itu di sini saat Julian harus segera pergi. Sambil terus melangkahkan kakinya, Julian bersua. "Lo pulang sama Malik ya, gue ada urusan."
Pemuda itu beranjak tak menghiraukan teriakan Jeje yang memanggilnya. Saat tiba di parkiran, ia dengan cepat memacu motornya untuk mencari Lisa. Beruntung jalanan malam ini agak lengang, sehingga tak begitu menyulitkannya.
Ia mengitari jalanan yang kemungkinan Lisa lewati. Jika gadis itu menggunakan transportasi umum, seharusnya Lisa sampai kurang lebih dua puluh menitan. Dan tempat yang paling tepat untuk menunggu gadis itu adalah di sekitaran jalan perempatan sebelum rumah sakit.
Julian menepikan motornya sambil menunggu. Sambil sesekali memeriksa ponselnya takut Revin mengabari. Tapi sudah hampir lima belas menit dia berdiri di sana, Lisa belum juga kelihatan.
"Halo!" ujarnya saat panggilan tersambung.
"Lo dimana? Udah ketemu Lisa?" tanya Revin panik.
"Belum anjir. Itu anak nggak muncul-muncul, gue di halte perempatan nungguin dia. Lo di mana?"
Revin mengumpat. "Gue di jalan sekitaran rumahnya. Orang tuanya panik pengen lapor polisi."
"Yaudah kalau gitu gue jalan lagi, hubungin gue kalau ketemu dia."
Julian menutup telpon dan segera pergi. Mencoba mencari keberadaan Lisa di jalan alternatif lain dari rumah gadis itu. Meskipun sempat ragu karena rasanya tak mungkin Lisa memilih jalan itu karena sepi apalagi saat malam, Julian terus memacu motornya sambil tetap menajamkan penglihatan.
Julian mengernyit saat mendapati kerumunan di tengah jalan, kemudian ia mempercepat laju motornya. Saat tiba di sana, Julian langsung turun dan mendekati sekumpulan orang yang sedang mengelilingi satu pemuda berpenampilan urakan di tengah-tengah mereka.
"Kenapa bang?" tanyanya pada salah satu warga untuk memastikan.
"Biasa, orang mabuk suka bikin resah warga sini." sahut bapak-bapak yang mengenakan sarung itu padanya.
Julian tak melanjutkan, merasa lega karena apa yang sempat menjadi kekhawatirannya tak terjadi. Tapi saat ia sudah akan berbalik, sebuah motor di tepi jalan yang begitu ia kenali membuat tubuhnya membeku.
Sementara warga yang masih berkumpul di sana sibuk menangani orang mabuk tadi, Julian mengalihkan pandangannya menatap satu persatu orang-orang di sana.
"Polisi bentar lagi datang pak RT."
"Amanin aja dulu dia, saya mau lihat bocah yang tadi sempat kena tonjok."
Julian spontan mengikuti bapak-bapak yang tadi ia ajak bicara, menahan langkahnya untuk bertanya. "Pak, mana pemilik motor itu?" tunjuknya pada motor sport berwarna biru yang terparkir tak jauh dari mereka.
"Mas nya kenal sama pemiliknya?"
"Bisa saya ketemu dia pak?" seru Julian gugup, takut kalau motor itu benar-benar milik Galang.
Akhirnya Julian mengikuti langkah bapak tadi ke sebuah rumah yang ia duga sebagai kediaman orang itu, saat Julian masuk ke sana ia di kagetkan oleh orang yang tak sama sekali ia duga.
Julian sempat tercekat sesaat kemudian mendekat pada Galang yang sedang di obati, terlihat beberapa wajahnya membiru dan sikunya yang terluka. Sedangkan satu orang lagi yang duduk di samping Galang nampak tak menyadari kehadirannya.
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...