Setelah berminggu-minggu berlalu, akhirnya tiba di mana mereka akan mengetahui hasil UTS yang akan ditampilkan di website resmi sekolah. Setelah kemarin kurang lebih seminggu mereka harus bertempur dengan soal-soal yang berhasil membuat stress.
Hari ini adalah hari Selasa di awal bulan, sehingga proses pembelajaran akan berakhir lebih awal. Biasanya kebanyakan siswa memilih untuk menetap di sekolah lebih lama, sekedar menikmati waktu santai di kantin atau sibuk dengan aktifitas club masing-masing.
Sama halnya dengan Malik, Gina dan Dewa yang memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan. Setelah melihat nilainya yang tak bisa dikatakan baik, Malik memaksa Dewa untuk membantunya menaikkan nilai atau kalau tidak sesuai kesepatakan yang telah dibuat oleh Malik dan kedua orang tuanya, pemuda itu harus rela melepaskan semua fasilitas yang ia terima selama ini.
"Kalau ada maunya doang ya lo mau belajar."
"Yaampun, Wa. Lo tahu kan kapasitas otak gue emang selimit itu, jadi ya mau gimana." Sahut Malik tanpa beban.
"Itu sih karena lo emang malas, Mal. Nggak ada orang pintar yang nggak belajar." Sahut Gina ikut menggerutu, gemas sekali dengan pemikiran Malik.
"Yaudah, jadi kapan nih mau belajar kalau kalian ngomong mulu?" sahut Malik menginteruksi.
"Seharusnya gue emang nggak ikut kalian berdua kesini tahu nggak." Ujar Gina mengomel. "Mending gue ikut Adara deh tadi."
"Lha jadi orang ketiga dong, orang dia pergi sama Galang." Sahut Malik tak mau kalah.
"Sssstttt! Lo berdua kalau mau ribut sana di luar!" tegur seorang siswi berkacamata yang duduk di ujung meja memandang tak suka ke arah mereka.
Keduanya jadi spontan menutup mulut rapat, sedang Dewa hanya terkekeh samar melihat kelakuan Malik dan Gina. Akhirnya dalam keheningan di sana, Malik berusaha memahami setiap materi yang dijelaskan Dewa, mencoba menjawab contoh-contoh soal bertemankan tumpukan buku yang ada di hadapan mereka.
Gina menjadi satu-satunya orang yang tak begitu paham materi yang membahas reaksi redoks dan elektrokimia sampai mikromolekul seperti polimer, karbohidrat, protein dan sebangsanya itu hanya bisa melamun memerhatikan mereka.
Jika sedang serius seperti ini, Malik memang benar-benar kelihatan berbeda. Rasanya jadi sia-sia saja diberikan wajah serupawan itu tapi tertutupi oleh sikap konyol yang selalu ia tunjukkan. Gina tanpa sadar tersenyum sambil menatap kearahnya.
"Lo ngapain sih bengong doang, mending bantuin gue nyari jawabannya nih." Seru Malik yang berhasil mengembalikan kesadaran gadis mungil itu.
"Ck. Males ah! Ini tuh bukan bidang gue. Kalau lo tanya tentang mobilitas sosial atau masyarakat multikultural, baru gue bakal maju." Sahut Gina menolak.
"Cih sok-sokan paham tentang interaksi makhluk hidup dan kesenjangan sosial, tapi pada kenyataannya ya nggak bisa di apply juga sama hidupnya sendiri." Malik balas merutuk membuat Gina langsung menyikutnya geram.
"Kok lo nyolot?!"
"Anak IPS tuh selalu merasa paling benar dalam aspek kehidupan bermasyarakat."
"Mal!" seru Dewa menegur, merasa Malik mulai berbicara ngawur.
Malik menghela nafas saat ia rasa Gina mulai berubah sikap, jelas sekali matanya merah menahan tangis juga tangannya yang mengepal kuat. "Sorry, gue nggak bermaksud ngomong gitu." Ujarnya meminta maaf.
Dewa menatap Gina sekilas, lalu kembali pada bukunya lagi. Memang sejak mereka tahu kebenaran tentang Lisa, Malik adalah satu-satunya orang yang merasa kalau hal itu terlalu berlebihan. Memaksa mereka untuk tidak berteman dengan memanfaatkan kekuasaan yang orang tua Lisa miliki membuat Malik geram.
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Ficção AdolescenteBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...