Tujuh Belas

920 154 70
                                    

Julian menghela nafas sebelum atensinya kembali fokus pada buku pelajaran. Pemuda itu masih kepikiran pembicaraannya dengan Revin tadi. Ia senang karena akhirnya tahu kondisi Lisa sebenarnya dan gadis itu akan kembali bersekolah. Tapi juga heran kenapa dari sekian banyak orang, hanya Revin yang bisa menemui gadis itu bahkan setiap hari.

Ya, jika hanya sebatas memberikan materi yang ketinggalan, Julian tak keberatan. Tapi bagaimana bisa Lisa bercerita hal yang bahkan belum pernah gadis itu ceritakan pada mereka semua? Kenapa harus Revin? Setahunya mereka pun tidak begitu dekat, hanya berlabelkan teman sekelas saja.

Julian tanpa sadar berdecak nyaring mengundang perhatian teman kelasnya juga guru yang sedang mengajar. "Ada apa Julian Evandra?"

Mampus. Nama lengkapnya di panggil dengan nada tinggi dan tegas. Julian jadi merutuki diri sambil menggeleng dan tersenyum membalas pertanyaan ibu Fika. "saya sakit perut bu."

"Ya sudah sana ke UKS." Seru wanita berkacamata bulat itu membuat Julian mengernyit sebelum akhirnya menurut dan beranjak keluar kelas.

Julian terkikik geli saat berjalan di koridor yang sepi. Pemuda itu melangkahkan kakinya ke ruang UKS untuk sejenak menenangkan pikirannya juga mengistirahatkan badannya yang masih sakit karena tadi sempat terjatuh waktu lari keliling lapangan pas jam olah raga.

Sebuah hal yang patut di syukuri atas kecerobohannya, jarang-jarang Julian seberuntung ini saat berurusan dengan ibu Fika yang super killer itu. Saat kakinya baru satu langkah memasuki ruang UKS yang ia pikir kosong, ternyata ada sosok Adara yang berdiri mematung karena kedatangannya.

Sesaat keduanya terdiam, sampai akhirnya Julian memutuskan untuk berbaring di salah satu ranjang. Membiarkan tirai biliknya terbuka agar pemuda itu bisa mengajak Adara mengobrol. "apa kabar Dar?"

"baik." Sahutnya singkat kemudian duduk di salah satu kursi di sana. "lo sakit?"

"kalau lo baik ngapain ke UKS?" tanya Julian mengabaikan pertanyaan Adara.

"gue cuma pusing doang. Habis minum obat, gue bakal balik ke kelas." sahut Adara agak canggung, karena jujur ini adalah pertama kalinya ia kembali berbicara pada salah satu dari mereka kecuali Galang.

Julian mengangguk kecil, sambil menatap langit ruangan. Keduanya diam lagi, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali pemuda itu melirik Adara yang masih duduk di sana dan fokus pada ponselnya. Setelah yakin untuk bertanya, Julian akhirnya bangkit dan duduk di atas ranjang.

"kenapa lo ngejauhin kita, Dar?"

Adara tersentak atas pertanyaan itu, atensinya ia pusatkan ke atas lantai karena gugup. Helaan nafas terdengar dari Julian yang kini memilih turun dan duduk di sampingnya. "gue nggak akan marah, Dar. Jawab aja, santai."

Gadis itu masih diam.

Julian menoleh lagi, memastikan Adara akan menjawab pertanyaannya sebelum pertanyaan lain muncul dari mulut gadis itu. "kenapa kalian cuma peduli sama perasaan Lisa?"

"Hah?" ujar Julian tak paham. "maksud lo?"

"Galang nggak salah, Jul."

"Gue nggak pernah bilang dia salah." Sahut Julian cepat. "gue juga nggak pernah membenarkan Lisa atas segala sikapnya."

Kali ini Adara mendongak, menatap Julian dengan kening berkerut. Gadis itu tak paham apa maksud Julian dengan pernyataannya barusan.

"mereka berdua punya alasan. Dan gue nggak berhak untuk menghakimi salah satunya. Yang perlu kita lakuin itu saling terbuka dan cari jalan tengah. Bukannya melarikan diri."

Adara menghela nafasnya sesaat sebelum menyandarkan tubuhnya di kepala kursi. "Lisa satu-satunya orang yang mau ngajak gue ngobrol waktu itu. Awalnya gue pikir dia salah orang, karena selama ini gue nggak pernah punya temen karena mereka mikirnya gue sombong hanya karena muka gue cenderung datar dan tak bersahabat, terus gue juga jarang ngomong." Ujar Adara memulai ceritanya.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now