Kelas sudah sepi dari beberapa menit yang lalu, tapi Dewa masih betah duduk di sana seorang diri. Buku pelajaran serta alat tulis yang tadi ia pakai juga belum dirapikan, entah kenapa rasanya ia ingin lebih lama dalam kesunyian seperti sekarang. Karena satu-satunya suara yang mengisi ruang kosong itu hanya denting jarum jam yang bergerak teratur.
Dewa menghela nafas sesaat ketika teringat ucapan om Dafa tempo hari. Saat itu ia mencoba untuk kembali menjenguk Lisa, tapi seperti sebelum-sebelumnya, orang tua gadis itu masih tidak membolehkan siapapun bertemu gadis itu.
"maaf, Dewa. Tapi seperti yang om bilang, kalau kalian adalah pemicu traumanya. Jadi, om tidak bisa mengambil resiko dengan membiarkan kamu masuk, setidaknya untuk saat ini."
Jika. Hanya jika Lisa mau terbuka dengan mereka, Dewa yakin kondisi gadis itu mungkin tidak akan separah ini. Atau jika saja Galang tak mengaku malam itu, mungkin hubungan mereka tak sekacau ini. Atau jika saja Dewa lebih peka dengan konsidi teman-temannya, mereka tak perlu mengalami luka sedalam ini. Atau jika –ARGH!!!
Ia meremas kepalanya yang terasa pening. Pemikiran yang memenuhi kepalanya seolah menuntun Dewa kembali pada peristiwa-peristiwa di mana semuanya terjadi. Rasanya seperti film yang di putar secara random melalui CD lama yang sudah usang, terlihat namun buram.
Dewa menegakkan duduknya untuk kemudian menarik nafas, mengisi paru-parunya yang sempat sesak. Pemuda itu memejamkan matanya mencoba untuk menetralkan pikiran dan perasaannya.
Ketika ia sadar bahwa apa yang ia lakukan hanya mencari seseorang yang patut di salahkan, Dewa lantas membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di atas meja untuk kemudian beranjak keluar kelas.
Langkahnya kontan berhenti saat di dapatinya Galang dan Adara yang baru akan pulang. Mereka sempat bersitatap sebelum Galang memutuskan untuk menarik gas dan pergi dari kawasan sekolah.
Dewa diam sebentar, bohong jika ia tak melihat wajah pucat Adara tadi. Perasaan khawatir tentang hubungan persahabatan mereka tidak hanya karena kondisi trauma Lisa yang semakin parah, tapi juga keadaan teman-temannya yang lain. Bahkan Dewa lupa, kapan terakhir ia berbicara pada mereka atau sekedar nongkrong di kantin seperti yang biasa mereka lalukan untuk menghabiskan waktu istirahat pertama.
Ada apa sebenarnya dengan mereka semua?
Di sisi lain, setelah memarkirkan motornya di pekarangan rumah Malik. Julian tak langsung masuk, ia berdiam sebentar sambil memerhatikan kediaman sahabatnya itu. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki setelah kejadian yang membuat hubungan persahabatan mereka kian rumit. Julian menghela nafas sejenak sebelum masuk dan mendapati Malik di ruang tengah sambil bermain PS seorang diri.
Keadaan rumah itu selalu saja sepi seperti terakhir kali mereka kesini. Julian tak menginteruksi, hanya duduk di atas sofa sambil memerhatikan Malik yang masih asik dengan konsol gamenya tak menyadari kehadirannya sama sekali.
Saat mendapati beberapa bungkus roti yang ada di samping tas sekolah Malik, Julian mengernyit. Ia memutuskan untuk meraih sebungkus roti dengan selai coklat lalu bertanya. "lo kan nggak makan coklat Mal, ngapain beli ini?"
Malik sempat kaget sambil mengumpat lalu mengelus dadanya. Ia berdecak sebelum fokus lagi dengan permainannya. "itu buat Adara. Tadi dia sakit."
"Lha, terus kenapa nggak lo kasih?"
"dia keburu pergi." Sahut Malik enteng, sedang Julian masih tak paham.
"dia sakit apa?"
"Ng..." gumamnya sambil mata masih fokus pada layar LCD. "nggak nanya juga gue. Galang cuma bilang dia sakit."
YOU ARE READING
Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]
Teen FictionBerawal dari satu kelompok yang sama saat MOS, kesepuluh siswa itu dekat dan bersahabat meskipun di kelas dan jurusan yang berbeda. Setelah ulangan berakhir, dan pembagian rapot telah usai. Mereka memutuskan untuk liburan ke beberapa tempat salah sa...