Dua Puluh Tujuh (Final)

1.2K 164 73
                                    

"Ayah lo belum datang juga?" tanya Dewa menghampiri Malik yang duduk di kursi koridor depan kelasnya.

Pemuda itu menggeleng, atensinya masih terfokus pada ponsel. "Orang sibuk emang sesusah itu ya buat luangin waktunya." Ujar Malik kesal.

"Macet kali, Mal."

Malik berdecak, matanya melirik pada orang tua siswa yang baru saja keluar kelas. Ia jadi berdiri kembali mengintip ke dalam kelasnya, lalu mencoba menghubungi ayahnya tapi tak diangkat.

Derap langkah kaki membuat atensi keduanya beralih, Malik yang sudah berharap itu ayahnya jadi mengumpat saat mendapati Julian yang berlari ke arah mereka. "Gimana, Mal? Ranking satu nggak?" tanyanya membuat Malik semakin kesal saja.

"Nggak tahu lah." Sahutnya tak peduli.

Julian mengernyit lalu duduk di samping Dewa, memerhatikan pergerakan Malik yang kelihatan gelisah. "Bokapnya belum datang?"

Dewa menggeleng, cukup membuat Julian menghela nafas menatap iba. Ia khawatir kalau hanya asisten ayahnya saja yang datang seperti tahun-tahun kemarin. Padahal Malik sudah antusias dan berkerja keras.

Waktu sudah menunjukkan jam sebelas, sekolah juga sudah mulai sepi karena sebagian siswa kebanyakan langsung pulang bersama orang tua mereka setelah pengambilan raport.

Jeje, Rosi dan Marvin mendekat pada mereka, saat melihat Malik yang tak seperti biasanya gadis itu langsung bertanya pada Julian dan Dewa melalui tatapan mata. "Ayahnya belum datang." Ujar Dewa berbisik.

Tak lama Gina juga datang, berlari dengan langkah kecilnya menghampiri mereka. Adara, Dicky dan Galang menyusul mengikuti gadis mungil itu dari belakang. Keempatnya jadi diam saat melihat Malik yang duduk berjongkok tepat di samping pintu kelasnya, lesu.

Sudah menduga apa yang sedang terjadi di sana karena atmosfer yang berubah canggung, mereka hanya diam menunggu respon Malik yang tak kunjung bersua. Pemuda itu hanya terus fokus pada ponselnya, terlihat beberapa kali menghubungi ayahnya tapi tak kunjung ditanggapi.

Pergerakan tiba-tiba dari Julian yang berdiri mengundang reaksi dari mereka semua. Termasuk Malik yang langsung maju untuk menyambut orang itu. Sayangnya harapan itu harus pupus saat didapatinya orang lain yang datang untuk mewakili ayahnya pada pembagian raport semester ini, lagi.

Saat pria berperawakan tegap di hadapannya itu masih menjelaskan alasan ketidak hadiran ayahnya, Malik memilih mengalihkan atensinya kesekitar, mencari keberadaan ayahnya seolah menolak percaya.

"AYAH UDAH JANJI!!!" Teriaknya marah, beranjak dari sana.

Ini adalah hari pentingnya, bukan hanya karena ingin membanggakan hasil usahanya selama ini tapi juga karena ayahnya mengatakan akan hadir dan mengambil sendiri raport Malik.

Pemuda itu terus berjalan cepat menuju parkiran, sudah tak peduli dengan apapun termasuk rencana utamanya untuk meningkatkan nilai itu. Saat akan melewati koridor di gedung IPS, Malik tak sengaja berpapasan dengan Lisa yang baru saja turun dari lantai dua.

Langkah mereka sama-sama terhenti, menatap satu sama lain, Lisa dengan ekspresi bingungnya dan Malik dengan wajah datarnya. Saat gadis itu sudah akan bertanya apa yang terjadi dengan Malik, suaranya harus tertahan karena seruan seseorang.

Keduanya menoleh, mendapati pria bertubuh besar berkepala pelontos dengan nafas terengah berlari ke arah mereka. Jika bukan karena Lisa, mungkin Malik sudah akan membentur tembok karena tiba-tiba kakinya oleng. Pemuda itu hanya tak percaya dengan siapa yang dilihatnya sekarang.

"Malik, maafin ayah."

Malik menampar pipinya sekali kemudian mengaduh kesakitan.

"Mal, lo gila ya? Itu ayah lo kenapa sampai minta maaf?" tanya Lisa tak peduli lagi dengan peraturan yang seharusnya ia ikuti, lagi pula sekarang sekolah benar-benar sepi. Hanya saja gadis itu tak menyadari satu hal.

Tiga Enam Sembilan (97liners) | [Completed]Where stories live. Discover now