1 || Awal Mula

20.2K 1K 22
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

🌸🌸🌸

Camelia Gianti, adalah seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan seni rupa di salah satu universitas di negeri Sakura. Apa yang membuat ia spesial hingga diangkat menjadi tokoh utama cerita ini? Bukan karena rupa bukan pula karena tahta tetapi karena keputusannya yang pergi berguru ke negeri matahari terbit itu.

4 tahun yang lalu...

"Lia, mama melarang keras niat kamu yang pengen kuliah ke Jepang."

Camelia yang keras kepala --buah bibit dari sang kepala keluarga tak mempedulikan penolakan mama-nya.

"Aku udah memutuskan ma." jawabnya dengan tenang.

"Di Jakarta masih banyak kampus yang bagus, kenapa harus jauh-jauh kesana, hah?!"

Kenapa? Karena ia ingin hidup normal tanpa dibayang-bayangi nama besar ayahnya. Itu terlalu memuakkan baginya. Apalagi ia dipaksa untuk menjadikan kakanya sebagai role mode, cerminan kesuksesan keluarganya.

"Pa! Ini gimana anakmu? Bujuk dia supaya gak pergi." pintanya agar suaminya memberi suara, bukan hanya diam menyimak saja sambil membaca koran ditemani secangkir kopi panas.

"Dengarkan apa kata mama kamu." tuturnya singkat.

"Maaf, pa. Aku gak bisa." Camelia menegaskan.

Tuan besar Bayu Ali Wardana melipat korannya dengan kasar. Lewat kacamata bulan separuhnya ia menatap puteri bungsunya dengan tajam.

"Kalau begitu jelaskan alasanmu ingin pergi ke Jepang."

Kalau ia berkata jujur akan semua rasa sesak di dadanya pasti papa-nya akan menceramahi dirinya habis-habisan. Mungkin ia akan dianggap sebagai anak tak tahu diri jika ingin lepas dari jerat keluarga penguasa properti yang sukses. Ia tidak mau lebih lama lagi membusuk diantara semua hal yang berbau kekuasaan keluarganya.

"Aku pengen mengembangkan kemampuan melukis."

"Untuk apa ambil jurusan yang tidak ada masa depannya. Masuk manajemen, di kampus kakakmu."

"Nggak pa."

Intinya Camelia harus mengikuti jejak kesuksesan kakaknya. Hukumnya selalu begitu sejak dia kecil. Camelia yang biasa-biasa saja harus pandai seperti Jasmine yang jago matematika. Darah memang lebih kental, tapi bakat alamiah tak mungkin ditiru.

Papa-nya mulai duduk tegak di atas kursi kebesarannya, dengan tatapan merendahkan. "Memangnya nilai sekolah kamu cukup untuk pergi kesana?"

Camelia terdiam tak berani menyangkal apa kata papanya. Rasa sakit dicemooh anggota keluarga sendiri lebih pedih dua kali lipat daripada dirundung satu sekolah.

Melihat anaknya yang terdiam, beliau kemudian melanjutkan. "Kamu masih butuh bantuan papa, jadi diam dan turuti apa kata papa. Papa bakal masukin kamu ke kampus itu." putusnya final, dan ia pun bangkit dari duduknya

"Sampai kapan?" kata Camelia dengan getir, menghentikan langkah papa-nya.

"Apa?"

Camelia memberanikan diri untuk menatap langsung pada papa-nya. "Sampai kapan aku harus hidup jadi boneka papa? Aku gak bakalan bisa berkembang jika terus diatur oleh papa."

"Lia!" seru mamanya.

"Aku gak kayak kak Jasmine yang senang mengandalkan nama papa demi keuntungan pribadi."

"Harusnya kamu bangga menyandang nama besar papa! Lihat, orang-orang yang tak seberuntung dirimu!"

Camelia tersenyum sinis, "Beruntung dalam segi apa? Materi? Kekuasaan? Jujur, aku tak merasa beruntung memilikinya, pa."

Camelia Blooms [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang