Yuka belum bertemu Shino-Senpai kemarin. Sewaktu pulang sekolah, dia sudah mencarinya lagi ke ruangan khusus, perpustakaan, kafetaria hingga belakang sekolah yang tidak pernah terjamah manusia sekalipun. Meski senja kembali ke peraduannya, Shino-Senpai tidak ada di sekolah hari ini. Kemungkinan kalau Ryu bohong soal perkataannya kemarin. Atau Shino-Senpai sudah cuti seperti perkataan Aiko kemarin.
Ah, mungkin tidak karena orang yang dicari Yuka tengah berjalan sejajar dengannya di lorong kelas sebelas. Di sebelahnya ada Ryu dengan mantel hitamnya seperti biasa. Kontras sekali dengan kulit putihnya dan tatapan dingin itu. Mereka berdua terlalu sibuk berbincang-entah apa-sampai tidak sadar kalau Yuka sudah berdiri dengan kesal menunggu mereka sampai.
"Ah, Yuka-Chan! Kamu mencariku kemarin?" tanya Shino-Senpai seolah mengatakan cuaca hari ini sangat cerah, tanpa merasa bersalah. Cengirannya segera luntur kala lengannya panas akibat cubitan maut Yuka.
"Ah, apa yang aku lakukan?" protes Shino lalu menjaga jarak, tidak terima.
"Apa? Apa? Kenapa kalau tahu dicari tapi malah sembunyi?" semprot Yuka seraya berkacak pinggang. Sukses membuat dua cowok di depannya meringis, takut mendapat amukan lebih dari ini.
Shino menggaruk kepala sambil cengengesan. Tidak terlihat takut sama sekali. Makanya, Yuka kesal setengah mati kalau lagi memarahi Shino. Tidak bakalan dianggap ngamuk atau murka, katanya wajah Yuka tidak mendukung hal itu. Memangnya wajah Yuka kenapa? Masih cocok jadi pemeran antagonis, kok. "Urusan penting, Yuka-Chan."
"Sepenting apa?" tanya Yuka menyindir sinis. Ayolah, dia dan Shino sudah berteman sejak kecil. Meski teman di sekolah saja. Tetap saja dari semua orang di sekolah, cuma Shino yang tahu keadaan Yuka sebenarnya.
"Kamu kelihatan seperti cemburu padaku."
"Hahaha. Lucu!" sungut Yuka tidak mengindahkan ucapan Shino yang ngawur.
"Beneran lho. Eh, tapi jangan. Nanti aku babak belur lagi," ujar Shino lebih ngawur menanggapi ucapannya sendiri. "kami sedang melakukan mi ... Maksudku mengurus sesuatu."
Alis Yuka bertaut. Lalu pandangannya jatuh pada Ryu. Cowok dingin itu terlihat tidak tertarik dengan pembicaraan anjing dan kucing tadi. Tentu saja, dia mana mengerti. "Kami?" tanya Yuka mengikuti radar detektifnya.
"Eh, maksudku aku dan Ryu," sela Shini gelagapan. Kenapa juga dia takut dengan adik kelas yang dia tahu latar belakangnya ini. Yuka memang ajaib bisa membuatnya gugup.
"Kalian ... Apa yang kalian lakukan?" tanya Yuka dengan mata memincing.
"Tidak ada," jawab Ryu setelah menjaga keheningan di sekitarnya. "Kamu tidak perlu tahu," lanjutnya.
Yuka mendengarnya seperti merendahkan dirinya. Yuka bisa dipercaya menjaga rahasia. Mata bulan sabitnya melotot. "Kenapa aku tidak boleh tahu?"
Ryu menatap Yuka datar. Seolah tidak terpengaruh dengan aura kemarahan cewek itu. "Kamu malah merepotkan kalau tahu."
Kata-kata kejam itu sukses membuat Yuka bertambah panas. Shino sampai lupa mengantupkan mulut ketika dua adik kelasnya itu mengibarkan bendera peperangan. Padahal, ada hal yang lebih penting daripada ini.
"Ayolah, teman-teman!" seru Shino seraya merangkul bahu keduanya.
"DIAM!" Keduanya kompak sekali membentak senior mereka. Shino terlonjak dari tempatnya.
"Merepotkan, ya? Memang kamu tahu aku gimana? Jangan sok nge-judge kalau belum tahu," sarkas Yuka dengan emosi meletup-letup. "Kita baru kenal kalau kamu lupa." Ah, satu tahun tidak dianggap Yuka lama. Sebab, pertemuannya dengan Ryu beberapa kali tidak membuat mereka mengenal satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of magic
Fantasy"Kembalilah kalian semua!" Suara tawa itu mengalahkan petir yang bersaut-sautan di luar. "Kutukan baru saja dimulai." Yuka Mitsura tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak tahu apa-apa tentang surat misterius itu atau kejadian apa di masa lalu. Dia ti...