Bab 10

9 2 0
                                    

Yuka meminta ijin pada Shino untuk berbicara dengan Ryu sebentar. Dua cowok itu rupanya berada di taman. Yuka sempat mendengar pembahasan tentang kerusakan di luar Academy. Baiklah, fokus kita bukan itu.

"Silakan," jawab Shino seraya mengangguk. Seniornya itu langsung undur diri setelah berpamitan.

"Mau bicara apa?" tanya Ryu datar. Kedua tangannya bersedekap. Seperti pembicaraan dengan Yuka bukan sesuatu yang penting.

Yuka menyipitkan matanya. "Kamu tahu sesuatu?" tanyanya menuduh.

Ryu diam. Tidak mengelak sedikit pun. "kamu sudah lihat?"

Yuka yang giliran terkejut. Ternyata, dugaannya tidak meleset sedikit pun. "Jangan bilang kamu udah tahu ada lubang aneh itu?"

Sepertinya tebakan Yuka benar.

"Emm. Sebenernya aku penasaran apa kamu juga bisa liat juga apa nggak."

"Jadi, kamu bohongin aku?" tanya Yuka keki.
Ryu menggeleng. "Kepala sekolah memang selalu di sana kalau tengah malam. Emmm ... kadang."

Yuka mengangguk. Entah kenapa percaya saja dengan ucapan Ryu kali ini. "Tunggu."

"Jadi, kepala sekolah juga tahu?" tanya Yuka was-was. Dia memelankan ucapannya ketika berkata kepala sekolah. Kalian masih inget julukan hantu itu, kan?

"Mungkin ... enggak," jawabnya menerawang jauh. Lalu dia menatap Yuka dengan tiba-tiba. Yuka kaget setengah mati, tapi tidak sempat membentaknya seperti biasa. "Siapa kamu?" tanya Ryu menelisik. Selain fakta mereka berbeda, Yuka juga bisa melihat lubang itu. Bukan tanpa alasan Ryu menyuruh Yuka ke sana.

Yuka merasa terserang demam ketika bersitatap dengan mata emas itu. Yah, mungkin efek karena mata unik itu tidak pernah ditemuinya di mana pun. Lantas, dia memundurkan wajahnya dari cowok tinggi itu.

"Orang yang nggak memiliki-bakat-apa pun," ujar Yuka jengkel setengah mati. Dia pasti ngerjain Yuka dengan pertanyaan itu. Julukan untuknya terkenal di mana-mana, menurutnya. Membuatnya males berhubungan dengan orang lain lagi.

Ryu menggeleng. "Warna mata kita berbeda," gumam Ryu tanpa terdengar menyerah dengan jawaban itu.

Yuka berdecak. Lantas menepuk bahu Ryu beberapa kali. Mereka memiliki rasa simpati yang sama karena itu. "Yah, begitulah. Aku tahu kita sama. Tapi jangan menyerah! Kita sama kayak mereka kok!" ucapnya panjang lebar dengan desahan panjang beberapa kali.

Ryu menyentil dahi Yuka untuk menyadarkannya. "Tapi, kamu bisa mengeluarkan black hole."

Upss! Ryu masih mengingat itu.

"Itu bukan aku!" elak Yuka tegas. "Lagipula, selain sapuku. Aku nggak punya hologram emas, tuh."

Yuka sudah mengecek sapunya. Ternyata memang ada hologram emasnya. Ck, itu pasti sapu milik penyihir zaman dulu. Ketara sekali dengan bahan dasarnya yang keras, tidak seperti sapu terbang zaman sekarang. Lagipula, Yuka yakin hologram itu juga dibuat oleh sihir. Yang mana pasti palsu.

"Itu yang buat aku bingung. Siapa kamu?" tanya Ryu malah memutarbalikkan keadaan.

Yuka berkacak pinggang. "Aku, Yuka nggak punya orang tua sejak lahir. Nggak memiliki bakat apa pun. Nggak punya kebanggan apa pun. Puas?"

Yuka mengatakannya dengan hati tersentak. Matanya jadi panas mengingat fakta-fakta itu. Padahal, Yuka sudah berjanji pada Aiko untuk melupakan sumber kesedihannya itu.

"Maaf," ucap Ryu dengan telunjuk menggaruk ujung alis. Berbanding terbalik dengan wajah datar yang selalu ditunjukkannya. Ryu terlihat salah tingkah di mata Yuka. Penyesalan itu dirasakan Yuka. Yuka segera menyeka ujung matanya.

Memories of magicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang